Kenali faktor pemicu bunuh diri

Belum lama kita dengar aktor terkenal di tempat yang 10.000 km jauhnya ditemukan tewas karena bunuh diri. Beberapa minggu kemudian, ada lagi kabar yang menyebutkan seorang biduan jebolan kontes menyanyi ditemukan meninggal karena gantung diri. Tidak sampai seminggu yang lalu, di televisi ada lagi berita tentang seorang pria yang melompat dari atap sebuah rumah sakit swasta di Bogor karena tak kuasa menahan sakit. Yang lebih dekat lagi, dalam kurun waktu 24 jam, di tempat saya menghabiskan detik demi detik dalam sehari, ada 3 pasien yang datang ke IGD dengan percobaan bunuh diri. Tindakan bunuh diri tidak memandang tempat dan tidak mempedulikan siapa kita.

Tahukah ada lebih dari 10.000 kasus percobaan bunuh diri di Indonesia?

Sebegitu lazimnya bunuh diri, tapi sebegitu mudah juga kita menjustifikasi tindakan mereka sebagai sesuatu yang remeh. Ungkapan seperti “Kayak orang nggak punya iman aja…”, “Yah, masa cuma segitu doang udah putus asa?”, hingga sebutan “cengeng” dilontarkan pada mereka yang sebenarnya sedang terpojok. Akan tetapi, tahukah kita kalau hampir seluruh tindakan terkait bunuh diri adalah akibat gangguan jiwa? Lebih penting lagi, tahukah kita kalau mereka dapat pulih dengan terapi psikologis maupun pengobatan?

Tanggal 10 September yang baru saja lewat merupakan hari yang didedikasikan untuk mengingatkan kita akan pentingnya mencegah bunuh diri. Definisi bunuh sendiri sebenarnya sangat luas, mulai dari memikirkan untuk bunuh diri, hingga benar-benar melakukan aksi bunuh diri. Dibandingkan perempuan, lelaki lebih sedikit yang melakukan upaya bunuh diri, namun angka kematiannya justru lebih banyak pada lelaki. Hal ini karena lelalki memilih cara yang lebih mematikan seperti menggunakan senjata atau lompat dari ketinggian.

Kalau kita tahu faktor apa saja yang menjadi risiko orang melakukan bunuh diri, tentunya kita dapat menawarkan bantuan.

Beberapa faktor risiko misalnya:

1. Jenis kelamin. Laki-laki biasanya memilih menggunakan senjata, gantung diri, atau melompat. Wanita justru memilih cara yang lebih halus seperti overdosis obat atau minum racun.

2. Usia. Bunuh diri dilakukan oleh mereka yang berusia 15-44 tahun, dan semakin tua usia mereka saat bunuh diri, maka tingkat keberhasilannya semakin sering.

3. Status perkawinan. Pernikahan diketahui menurunkan risiko seseorang melakukan bunuh diri, apalagi jika sudah memiliki anak. Tapi, mereka yang bercerai, angka bunuh dirinya justru tinggi.

4. Pekerjaan. Memiliki pekerjaan yang stabil diperkirakan menjadi faktor yang menjaga seseorang dari melakukan upaya bunuh diri. Malahan orang dengan karir yang menjulang justru berisiko tinggi bunuh diri, begitupun dengan orang yang tidak memiliki pekerjaan. Contoh pekerjaan yang berisiko tinggi antara lain para penegak hukum, seniman, pengacara, dan para agen asuransi.

5. Kesehatan fisik. Bagi mereka yang menderita sakit kronis seperti kehilangan mobilitas atau rasa nyeri hebat, risko bunuh diri sangat besar. Belum lagi bila ditambah dengan permasalahan dengan orang terdekat dan kehilangan pekerjaan. Orang dengan penyakit kronis yang mengonsumsi obat rutin juga bisa melakukan bunu diri. Contohnya adalah penggunaan reserpin jangka panjang, kortikosteroid, obat antihipertensi dan antikanker.

6. Gangguan jiwa. Tak dapat dipungkiri, kontributor terbanyak kasus bunuh diri adalah adanya gangguan depresi. Gangguan jiwa lain yang dapat meningkatkan risiko bunuh diri adalah skizofrenia dan demensia. Orang yang mengalami gangguan waham (keyakinan yang salah dan menetap) memiliki risiko bunuh diri sangat tinggi. Selain itu, pada orang dengan usia di bawah 30 tahun stresor perpisahan, penolakan, pengangguran, dan masalah hukum dapat mencetuskan terjadinya bunuh diri.

7. Perilaku bunuh diri sebelumnya, terutama yang terjadi dalam 3 bulan setelah percobaan pertama.

Penyebab seseorang melakukan bunuh diri memang bisa dikaitkan dengan banyak hal. Faktor biologis, psikologis, bahkan sosial. Yang paling sering diungkit tentu saja yang psikologis. Dikatakan bahwa bunuh diri sebenarnya adalah tindakan membunuh yang dilakukan berkebalikan. Jadi, bukannya membunuh orang lain untuk melampiaskan kemarahannya, ia justru membunuh dirinya sendiri. Ide ini didasarkan pada trias bunuh diri Karl Menninger yaitu, ingin mati, keinginan untuk membunuh, dan ingin dibunuh. Secara biologis, bunuh diri dijelaskan dengan rendahnya kadar serotonin di otak yang menyebabkan seorang menjadi depresi dan memandang hidup tanpa harapan.

Petunjuk yang dapat kita gunakan sebagai tanda waspada:

1. Verbal
Seseorang yang memiliki ide bunuh diri mungkin saja benar-benar mengucapkan “Mati aja deh..” atau “Udahan aja lah.” Yang kerap kita tanggapi dengan enteng. Ungkapan lain yang bisa dijadikan penanda adalah “Aku nggak sanggup lagi.” atau malah merujuk orang lain menggunakan kode-kode dalam percakapan.

2. Perilaku
Tanda perilaku dapat sangat jelas atau juga merupakan kode-kode. Contoh yang jelas misalnya mencoba minum racun atau zat berbahaya dalam dosis kecil. Sementara yang sering dilakukan justru kode seperti mengatur pemakaman dan membagi-bagikan barang berharga miliknya kepada orang lain. Tak jarang orang ini juga membereskan semua urusan duniawinya (bank, pajak, dll) serta meminta maaf pada seluruh handai taulan.

3. Situasi
Adanya stresor besar terkait kondisi fisik dan perubahan dalam kehidupan dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Gangguan jiwa pun dapat menjadi petanda adanya risiko bunuh diri, seperti pada orang dengan depresi atau gangguan psikotik.

Dengan mengetahui hal-hal di atas tentunya kita dapat berkontribusi mencegah terjadinya bunuh diri. Stigma yang kita ciptakan tak membantu menyelesaikan masalah, tapi justru dukungan kita dapat menyelamatkan banyak nyawa.

Artikel Terkait

Layanan kesehatan mental bagi pria dan wanita

Jubilee High School: We’re Healthy-Functioning Grown-Ups!

Why People Do Drugs?

Gangguan Panik dan Serangan Panik, Sama atau Beda?

Kenali dan lindungi anak dari kejahatan pedofilia

Toxic Masculinity & Mental Health

Sebelumnya
Selanjutnya

Buat janji dokter sekarang

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.