CABE-CABEAN… terong-terongan… terong dicabein…: orangtua, di mana kita?

HABIS CABE-CABEAN, TERBITLAH TERONG-TERONGAN… DAN TERONG DICABEIN… :))

Apa yang terlintas di kepala Anda mendengar istilah cabe-cabean? Teringat benda kecil, berwarna merah, dengan rasa pedas jika menyentuh lidah dan bibir? Tepat sekali. Rasa panas dan pedas itulah yang sekarang menyengat pendengaran dan perasaan orang ketika disebutkan kata cabe-cabean. Istilah ini berasal dari singkatan CABE, Cewek ABG Bisa di E*** atau Cewek Alay Bahan E***an.

Mulanya istilah ini hanya untuk menunjukkan ABG perempuan yang dianggap centil dan bermakna konotatif. Dan kini merujuk kepada remaja perempuan usia SMP dan SMA yang keluar malam tanpa tujuan jelas, biasanya merupakan bagian dari kelompok laki-laki muda pembalap liar di jalanan. Di sepanjang jalan tempat saya biasa lewat sepulang dari pendampingan di lokalisasi, saya sering melewati area balap liar. Sudah pasti di antara laki-laki pembalap liar itu terselip cabe-cabean yang diperebutkan sebagai taruhan. Laki-laki pembalap yang menang bisa melakukan apa saja terhadapnya, termasuk berhubungan seks.

Sepanjang yang saya amati, fenomena ini sudah berlangsung lama. Seringkali, kalau saya harus berangkat ke luar kota dengan pesawat paling pagi, biasanya saya akan meninggalkan rumah sekitar jam 3.30 dini hari. Taksi yang saya pesan untuk menjemput akan kesulitan masuk ke jalan kecil menuju rumah, karena jalan ini menjadi tempat pelarian anak-anak muda yang balapan liar di jalan raya. Jika ada polisi yang merazia, mereka akan bersembunyi di dalam gang dekat rumah saya. Di situ dengan mudah dapat saya lihat bagaimana perempuan belia (cabe-cabean) berada di luar rumah pada malam buta yang dingin dan membahayakan mereka. Penampilan mereka sungguh seksi dengan pakaian terbuka seperti tank top dan celana sangat pendek, menonjolkan lekuk tubuh, dan berdandan menor.
Seringkali mereka dijadikan bahan taruhan bagi para lelaki pebalap motor liar. Sudah tentu ini meliputi berbagai tindakan mulai dari sekadar jalan bersama, peluk, raba, cium hingga berhubungan seks.

Menurut pengakuan mereka, faktor yang menyebabkan mereka bertindak seperti ini adalah karena ingin melarikan diri dari orangtua yang terlalu galak, keinginan untuk tenar di antara teman-teman, ingin mendapat respek dari teman laki-laki, atau sekadar ingin jalan-jalan di malam hari. Bahkan ada yang mengaku lompat dari jendela untuk kabur dari kamar, saking ingin melarikan diri dari rumah. Sebagian mengaku karena ingin berdekatan dengan cowok yang dianggap keren, yaitu pemenang balapan motor liar. Sebaliknya, para pembalap liar itu juga menjadikan cewek cabe-cabean sebagai “piala bergilir” yang bisa “dipakai” jika mau (maksudnya, berhubungan seks).

Bayangkan, hal apa saja yang bisa terjadi di luar rumah, tanpa pengawasan orangtua… Ditambah dengan begitu kuatnya pengaruh dan tekanan kelompok, sementara eksistensi diri di dalam kelompok merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan identitas diri remaja. Biasanya remaja cenderung mengikuti norma yang berlaku di kelompok, dibanding mendengar kata orangtua.

Sebenarnya fenomena ini sudah lama ada, namun kebanyakan kita tidak tahu dan tidak peduli. Paling kita hanya mencibir, menyalahkan dan kemudian melupakannya karena ini bukan masalah kita.
Sebelumnya kita juga kenal dengan istilah “Alay” atau anak layangan yang dianggap belum jelas identitasnya sehingga membuat trend sendiri di kalangan mereka, atau “Jablay”, cewek atau cowok yang bisa diajak kemana-mana untuk melakukan apa saja.
Kita juga pernah mengenal istilah 3B untuk cewek belia yaitu “Behel/kawat gigi, Bonding & Blackberry”. Pada cowok belia istilahnya menjadi 3B dengan arti sedikit berbeda yaitu “Behel, Boil (mobil) & Blackberry”.
Lihatlah, betapa melekatnya penggunaan dan pemilikan benda-benda yang dianggap membentuk citra diri, penerimaan diri dan penerimaan kelompok pada remaja ini.

Bagi remaja yang menggunakan bahasa Jawa, seperti remaja di Solo misalnya, istilah cabe-cabean mungkin dapat disejajarkan dengan istilah “KIMCIL”. Kata “Kimcil” merupakan sebutan untuk menggambarkan gadis belia usia 15-23 tahun yang cenderung sok imut, dan sering keluar malam tanpa tujuan. Istilah “Kimcil” merupakan kata yang dibuat dari plesetan alat vital perempuan, yang digabungkan dengan kata “cilik” atau dalam bahasa Indonesia berarti kecil. Menurut penjelasan kamusslang.com, Kimcil adalah, “Daun muda perkotaan, biasanya berusia antara 15-23 tahun (SMA-Kuliah), bergaya trendi, suka begaol, cenderung sok imut, ceria-ceria bikin gemes, sasaran empuk cowok-cowok pinginan”

Dalam fenomena cabe-cabean, dikenal 3 kelompok yaitu Cabe Ijo, Cabe Merah dan Cabe Oranye.
Kelompok “CABE IJO” adalah cabe-cabean yang tergolong kelas atas, biasanya berasal dari SMA gaul di Jakarta dan nongkrong di tempat yang lagi hits banget. Mereka sangat ingin dibilang dewasa sehingga selalu berdandan full make up, dan dress up parah. Walaupun hanya mau pergi ke mall tapi seperti mau ke pesta.

Lalu ada kelompok “CABE MERAH”, yaitu cabe-cabean yang senang nongkrong di club di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Sebelum masuk ke club, biasanya mereka nongkrong dulu di toko swalayan untuk menunggu tamu sehingga mereka bisa dapat barang gratisan. Adapun kelompok cabe-cabean yang terakhir adalah “CABE ORANGE” yang merupakan kelompok anak perempuan yang suka nongkrong di jalanan sambil melihat balapan liar. Kelompok inilah yang sering diidentikkan dengan cabe-cabean secara umum. Biasanya di sore hari mereka senang naik motor bonceng tiga-empat orang, tidak pake helm dan mengenakan hot-pants. Ciri lain dari anak gaul ini adalah senang main HP, meng-aplot foto-foto diri yang lebay dengan teknologi 360, dan sering mengenakan behel murahan. Dalam berkencan, mereka biasanya nongkrong di jembatan layang bersama lelaki pacarnya, duduk berbonceng di atas motor sambil ngobrol. Di malam hari mereka berkeliling di area balapan liar untuk menarik perhatian para joki motor.

Apa yang menarik dari fenomena ini? Sebagian masyarakat cenderung menyalahkan si perempuan cabe-cabean dan sama sekali tidak memperhitungkan peran si laki-laki pembalap liar itu, yang menganggap wajar saja jika ada perempuan yang jadi taruhan dan boleh “dipakai” (maksudnya berhubungan seks) jika menang balapan. Sebegitu parahkah perilaku seksual remaja kita? Apa yang sedang terjadi pada kita, dan anak-anak muda kita?

Saya tidak habis mengerti, ke mana orangtua mereka? Bagaimana kualitas hubungan antara orangtua dan anak? Kalau mereka anak orang kaya, apakah rumah mereka sedemikian besar dan luasnya, dengan kamar-kamar yang sangat banyak, sehingga mereka tidak tahu bahwa anaknya masih berkeliaran hingga dini hari yang dingin? Kalau mereka anak orang miskin, apakah sebegitu tidak nyamannya hubungan orangtua dengan anak? Tentu persoalannya akan berbeda pada setiap kelompok ekonomi. Orangtua dari golongan miskin tentu menghadapi masalah tuntutan ekonomi yang berbeda dari orangtua kaya. Masing-masing punya pergumulan hidup sendiri-sendiri dalam menghadapi hidup yang berbiaya mahal seperti sekarang ini.

Dalam pengamatan Arist Merdeka Sirait dari Komnas Perlindungan Anak, jumlah cabe-cabean ini akan meningkat jika tidak mendapat perhatian dari orangtua dan masyarakat. Bahkan psikolog anak, Seto Mulyadi memperkirakan pesatnya pertambahan jumlah cabe-cabean ini bisa mencapai 100% di tahun 2014 ini, karena di tahun politik ini orangtua akan cenderung makin sibuk dan mengabaikan anak-anak, yang seharusnya mendapat perhatian dan kasih sayang. Orangtua kaya tentu sibuk menambah isi deposito, mempertahankan citra dan jabatan di masyarakat, sementara orangtua miskin semakin sulit mencari biaya untuk mempertahankan standar hidup yang wajar dalam carut marut ekonomi menjelang Pemilu ini.

Sejalan dengan munculnya istilah cabe-cabean, di kalangan laki-laki belia juga muncul istilah “terong-terongan”, yaitu remaja laki-laki yang mengencani cabe-cabean. Ada juga yang menyatakan bahwa terong-terongan adalah remaja laki-laki yang suka tawuran, suka nongkrong di mal dengan mengenakan topi ketekuk, bahkan memasang foto dirinya sendiri di jejaring sosial seperti Facebook sambil mengisap ganja. Sebagian orang mengistilahkan terong-terongan untuk menjelaskan fenomena ABG laki-laki yang dianggap “gaul abis” dengan penampilan “metroseksual”. Biasanya mereka nongkrong di mal atau restoran cepat saji sambil sibuk main gadget. Istilah terong-terongan juga dipakai untuk menjelaskan remaja cowok yang “alay” alias anak layangan, atau “jamet” alias jablay metal yang mengganggu. Ada juga yang mengatakan bahwa terong-terongan adalah banci-banci muda belia. Sebagian dari ABG laki-laki yang tampil habis-habisan dan bergaya keperempuan-perempuanan alias “ngondek”, mendapat julukan “terong dicabein”, karena dianggap identitasnya tidak jelas.

Sayangnya, kita lebih sering menyalahkan (anak) perempuan yang dianggap genit, gatel, dan tidak tahu malu. Kita sering tidak menaruh perhatian pada perilaku anak laki-laki, karena dianggap biasa jika mereka melakukan hal-hal berisiko, mulai dari merokok, kebut-kebutan di jalan, tawuran, sampai melakukan hubungan seks sebelum menikah – bahkan seks dengan banyak pasangan, sejak sebelum menikah hingga sudah menikah.

Padahal, justru dengan cara pikir seperti ini, akan semakin sulit bagi anak perempuan untuk mempertahankan diri dari agresivitas laki-laki sebaya yang dibiarkan sangat liar sejak muda, yang dibungkus dengan berbagai macam rayuan gombal dan janji-janji palsu. Dalam konteks ini dibungkus dengan agresivitas dan keliaran sebagai pebalap liar yang menundukkan perempuan cabe-cabean sebagai bentuk maskulinitasnya, untuk dipamerkan kepada kelompok. Jangan ditanya, pasti dalam kondisi seperti ini ada pula rokok, minuman keras, dan narkoba yang semakin menyulitkan orang berpikir dan bertindak waras. Belum lagi tekanan kelompok yang membuat tanggung jawab individu menjadi berkurang.

Akan sangat sulit, sulit sekali bagi perempuan untuk menjaga diri dan keperawanannya ketika laki-laki sejak muda tidak diajarkan untuk menghormati tubuhnya dan juga menghormati tubuh orang lain, dalam hal ini menjaga agar tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah.
Sudah pasti, dalam hal ini berlaku pula hukum supply and demand, di mana ada permintaan, di situ pasti ada penawaran.

Fenomena cabe-cabean dan terong-terongan memperlihatkan dengan jelas, betapa kita seringkali tidak mengenal anak-anak kita. Kita pikir, cukuplah dengan hanya menyediakan rumah yang mewah, mobil dan motor, sekolah mahal, gadget mutakhir, mencukupi makanan, pakaian dan uang jajannya, maka peran kita sebagai orangtua sudah selesai. Padahal anak-anak kita, baik perempuan maupun laki-laki, membutuhkan perhatian dan kasih sayang, yang diberikan dengan cara komunikasi yang menyenangkan… bukan hanya menyalahkan mereka sehingga akhirnya mereka selalu ingin lari dari orangtuanya…
Ahhh… orangtua, di manakah kita?

Artikel Terkait

Demam, Gejala atau Penyakit?

Limfosit CD4 dan Perannya pada Infeksi HIV

HIV dan Nutrisi

Memahami hasil Pap Smear

Bagaimana Dokter Mendiagnosa Keputihan?

Kondom Wanita

Sebelumnya
Selanjutnya

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.