Emang kenapa, masalah buat loe…??!

Tahun lalu saya diundang ke Berau dan Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Tiba di bandara Balikpapan, seorang teman serombongan, laki-laki usia 37 tahun, melihat saya mendorong troli berisi koper sambil menggendong ransel, berkomentar, “Kok banyak amat, sih, bawaannya, mbak?” Lho, emangnya kenapa? Padahal saya sama sekali tidak minta dia membawakan koper dan ransel ini. Minta dibayarin tiket pun tidak. Minta makan sama dia pun tidak.

Di perjalanan dari Berau ke Pulau Derawan, kami lewat laut selama 2 jam. Kebetulan ombak besar. Saya sangat menikmati perjalanan ini, duduk di bagian belakang speedboat sambil memotret buih ombak dan bagan-bagan nelayan di tengah laut dengan lensa tele. Sementara anak muda yang sok sibuk mengomentari koper saya tadi, duduk di bagian dalam speedboat, pucat pasi mabuk laut, dan akhirnya muntah. Kalau begitu, mengapa tadi sibuk ngurusin urusan orang, bukannya sibuk persiapan menghadapi mabuk laut. Selama beberapa hari di Pulau Derawan pun, ia pun cuma tidur. Kadang ia memancing di dermaga, karena tidak bisa berenang dan takut ombak, sementara saya sibuk tiap hari snorkeling berjam-jam menikmati pemandangan bawah laut yang luar biasa indah. Bahkan sempat mengelilingi pulau-pulau lain di sekitar sana.

Kejadian lain yang mirip, ketika saya menggunakan hair extension alias rambut sambung. Seorang teman perempuan, seumur saya, berkomentar dengan sengit, “Iiiih, rambutnya disambung, ya? Gile banget, ya, rambut kok pake disambung segala, emang nggak panas, tuh?”
Lho, apa masalahnya dengan dia? Wong, saya nggak minta duit dia buat nyambung rambut ini. Saya juga tidak meminta tangannya menyambungkan rambut ini ke kepala saya. Habis bicara sengit dengan ekspresi yang sangat tidak menyenangkan itu, perhatiannya teralih mengomentari hal lain, seolah pendapatnya barusan tidak menimbulkan dampak apapun bagi yang menerima cercaannya. Saya yakin cara bicara sinis dan sengit itu memang bagian dari gaya hidupnya sehari-hari, karena sampai saat ini pun ia selalu berkomentar negatif tentang apapun. Bahkan untuk hal-hal positif pun ia tak bisa memuji. Bisanya cuma mencela. Saya tidak nyaman bicara dengannya. Tak terbayangkan bagaimana rasanya jadi suami atau anaknya. Pasti bawaannya pengen ngaciiir aja…

Mirip dengan ini, saya kenal seorang perempuan, 53 tahun. Ia salah satu panitia dari lembaga yang beberapa kali mengundang saya seminar. Orang ini pipinya dipenuhi flek hitam dan selera berpakaiannya parah. Ia selalu punya komentar untuk apapun yang dia lihat. Dan sudah dapat dipastikan, komentarnya selalu negatif, “Aduuh, susah banget sih menghubungi mbak Baby, telponnya nggak pernah diangkat?”, “Ngapain sih, kok berat-berat bawa laptop segala, untuk apa?” “Lho, kok pulangnya tanggal 5, kenapa nggak tanggal 6?”, “Kok pake bajunya warna hitam melulu, emang gak punya warna lain?”, “Kenapa rambutnya dipanjangin, kan lebih seger kalau pendek kayak dulu?”
Iiihh, rempooongg, bangeett… Mending dia urus dirinya sendiri: flek hitam diwajahnya itu, kek, atau belajar kombinasi warna yang nyaman dilihat. Sama seperti kasus lain, setelah bicara sengit pada seseorang, pembicaraan akan segera beralih ke hal lain dengan kualitas sengit yang sama, seolah pembicaraan yang sebelumnya itu tak berbekas pada hati orang yang menerimanya.

Ternyata bukan hanya di kalangan awam saja hal itu saya temui.
Tahun 2010, waktu sudah diterima sebagai mahasiswa program S3, saya harus mempresentasikan proposal disertasi di hadapan penguji. Salah seorang penguji –yang pastinya sudah duluan jadi Doktor – bertanya, “Untuk apa, sih, seorang aktivis AIDS harus kuliah sampai S3? Memang aktivis perlu mengerti macam-macam teori?” Saya membatin, lho, kok nanyanya gitu, ya? Padahal saya sudah lulus Tes Potensi Akademik (TPA), sudah lulus psikotes dan wawancara panjang lebar. Sudah bayar uang kuliah, lagi…. Kalau pun hal itu dianggap pantas ditanyakan, mestinya ditanya waktu saya baru mau mendaftar, bukan setelah saya lulus tes. Bukannya mengapresiasi, bahwa seorang aktivis yang sibuk dalam pelayanan kemanusiaan masih mau kuliah…malah sibuk mencela.
Apa masalahnya buat dia kalau seorang aktivis AIDS mengambil program doktor? Lagi pula, saya, khan, nggak minta duit sama dia buat bayar kuliah, beli buku dan transport. Saya juga tidak minta dia membantu saya menjalani segala macam tes masuk. Saya pun cari beasiswa sendiri dengan prestasi saya dan dengan reputasi saya sendiri. Dalam sepersekian detik, jawaban konyol saya muncul, “Ya, biar pantas aja, mbak… biar gelarnya pindah dari belakang ke depan.”

Ketika tahu bahwa penelitian disertasi saya adalah tentang Narapidana dengan HIV/AIDS, salah seorang senior juga tak kalah aneh memberi komentar, “Ngapain juga, sih, kamu ngurusin mereka? Emang makna hidup apa lagi, yang mau dicari dari mereka? Udah narapidana, AIDS pula, lagi. Itu mah cuma tinggal nunggu mati aja…” Ya ampuuunn…, kok, loncer bener itu mulut bicara seperti itu? Emang masalah, ya, buat dia, kalau saya meneliti hal itu? Padahal, sekali lagi, saya tidak minta dia membimbing saya. Selain itu, saya pun tidak minta bantuannya untuk membuatkan penelitian itu buat saya, tidak minta pendapat dia, tidak minta uang kuliah dari dia… Bahkan saya yakin dia tidak memahami apa yang dialami oleh para narapidana yang terinfeksi HIV/AIDS. Jangan-jangan malah dia belum pernah ke penjara mengurus pasien narapidana HIV/AIDS. Pantas mulutnya lancang begitu…

Begitulah, dari hari ke hari, sejak saya kecil hingga setua ini, sering kita mendengar (atau bahkan kita juga melakukan) hal itu. Bayangkan jika orang yang menerima ungkapan sengit itu, kemudian memaknai kata-kata itu sebagai sesuatu yang penting, betapa dalamnya rasa sakit yang dirasakan. Belum lagi kalau kita menganut paham ingin selalu menyenangkan hati orang lain, atau terlalu mempertimbangkan apa kata orang.
Banyak kasus yang saya tangani, terkait perselisihan dalam perkawinan, yang tidak bisa menemukan jalan keluarnya hanya karena salah satu atau kedua belah pihak tidak berani mengambil keputusan.

Hubungan perkawinan jadi mengambang dan palsu. Dari luar seolah baik-baik dan rukun, padahal sebenarnya salah satu pihak sangat menderita karena perselingkuhan, penelantaran, kata-kata kasar, atau suka memukul. Seringkali mereka sudah tidak bertegur sapa di dalam rumah, tapi kalau datang ke pesta kawin, ke arisan atau di pengajian, mengenakan topeng sosial seolah-olah rumahtangganya aman tentram. Alasannya, apa kata orang, nanti? Padahal kalau sedang di konseling dan di hypnoterapi, pasien macam ini bisa nangis meraung-raung saking sesaknya penderitaan batin akibat perilaku pasangan yang selingkuh – kadang masih ditambah lagi dengan kecanduan narkoba… Tapi begitu sampai di alam nyata, yang jadi pertimbangannya selalu adalah “APA KATA ORANG?”

Padahal, penderitaan seberat itu hanya dia yang merasakannya, bukan orang-orang yang sibuk memberi komentar sengit, sinis, complain, kepo, dan sebagainya itu.. Padahal, orang-orang kepo itu, setelah memberi komentar sengit pada Anda, akan langsung beralih mengomentari masalah si A, si B, si C… Bahkan mungkin dia pun sudah lupa celetukan apa yang dilontarkannya pada diri kita… sementara kita mungkin tersiksa dengan ucapannya yang sengit dan sinis itu… Namanya juga ORANG KEPO…

Jadi, bila Anda menghadapi komentar atau celetukan apapun, bersikaplah santai saja. Ini hidup Anda sendiri, cita-cita Anda sendiri, jadi harus Anda sendiri yang memperjuangkannya, bukan mereka. Bahkan jika Anda minta tolong pada mereka pun, saya jamin mereka tidak akan membantu Anda (paling memberi komentar lebih sinis lagi, membuat Anda semakin terpuruk lagi). Sepanjang Anda tahu siapa diri Anda, tahu kemampuan diri, dan tahu apa yang ingin Anda capai dalam ini, maju saja terus… Karena orang di sekitar kita biasanya akan selalu komentar. Entah Anda melakukan ini atau itu, benar atau salah, pasti akan SELALU ada komentar. Setelah komentar, dia segera akan berpindah mengomentari urusan lain dengan sifat kepo yang sama. Kebanyakan komentar negatif, pula, hingga jika Anda mendengarkannya, hidup Anda bisa terhambat. Bilang saja dalam hati, EMANG KENAPA, MASALAH BUAT LOE?!
Kalau Anda terlalu banyak menghiraukan pendapat negatif seperti itu, jangan-jangan Anda nanti akan terdampar di depan saya, sebagai pasien saya…

Artikel Terkait

Seks, Seksual dan Seksualitas

Infeksi Menular Seksual

Memahami hasil Pap Smear

Demam, Gejala atau Penyakit?

Limfosit CD4 dan Perannya pada Infeksi HIV

Gonore

Sebelumnya
Selanjutnya

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.