Kira-kira empat tahun lalu saya berkunjung ke dokter spesialis obstetri dan ginekologi di sebuah rumah sakit swasta di dekat kediaman orangtua saya di Jakarta Selatan. Saat itu saya ingin melakukan tes pap smear yang dapat mendeteksi kanker leher rahim, salah satu kanker penyebab kematian tertinggi bagi perempuan di Indonesia. Pada tes ini, dokter spesialis akan memasukkan spekulum (alat seperti cocor bebek) ke dalam vagina untuk membuka mulut vagina dan mengambil contoh jaringan pada leher rahim. Prosedur yang tidak rumit dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Saya pikir saya bisa masuk ke dalam ruang periksa dan keluar dalam waktu kurang dari satu jam. Tapi dugaan saya meleset.
Hal pertama yang ditanyakan oleh dokter saya adalah: “Anda Nona atau Nyonya?”
Eh? Dalam hati saya mikir: Apa hubungannya, ya? “Nona, Dok,” jawab saya singkat.
“Oh, kalau begitu mohon maaf saya tidak bisa melakukan pap smear.”
“Loh, kenapa, Dok?”
“Karena Anda belum menikah, dan pemeriksaan ini bisa merusak selaput dara Anda.”
“Bagaimana kalau saya sudah pernah berhubungan seks? Apa Dokter mau memeriksa saya?”
Sambil menghela nafas panjang, dokter itu menatap saya dan bertanya dengan tatapan khawatir, “Kenapa sih, Anda melakukan hubungan seks di luar pernikahan?”
Saya cuma nyengir ditanya seperti itu dan melenggang keluar ruang periksa setelah sebelumnya berbasa-basi bilang terima kasih. Dalam hati saya sungguh kesal, tapi karena saya sedang tidak berminat berdebat dengan dokter di hadapan saya, saya memutuskan untuk mendinginkan kepala dan pulang. Keesokan harinya saya pergi ke rumah sakit lain di Jakarta Pusat sambil mengajak sahabat laki-laki saya yang gay dan pasrah saya aku sebagai suami. Saya pun mendapat pelayanan yang saya butuhkan.
Pengalaman itu membuka mata saya dan membuat saya prihatin atas jasa pelayanan kesehatan di Indonesia. Ada dua hal yang saya mau garis bawahi di sini. Pertama, dokter itu telah melanggar hak saya sebagai pasien yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan. Ia menolak dengan dasar moral dan anggapan bahwa hanya pasien yang sudah menikah saja yang layak mendapat pelayanan tersebut. Kedua, dokter itu secara sadar maupun tidak, telah mendiskriminasi saya. Sebagai seorang dokter, bukan tugasnya menjadi polisi moral dan menghakimi pasien yang dia layani. Dia tidak boleh membiarkan pertimbangan agama, suku, politik maupun kelas sosial mempengaruhi pelayanan yang diberikan kepada pasiennya. Tidak ada bagian dari sumpah seorang dokter yang menyatakan bahwa dia boleh menjalankan tugasnya sepanjang yang dia mau. Sumpah itu harus dilakukan tanpa perkecualian.
Saya beruntung di kemudian hari saya mendapat pelayanan yang ramah dan menghargai privasi serta hak pasien di Klinik Angsamerah. Sayangnya masih banyak praktik pelayanan kesehatan di luar sana yang tidak berpihak pada pasien. Inilah yang akan menjadi topik tulisan-tulisan saya selanjutnya. Saya tidak hanya ingin mengajak Anda untuk mempertanyakan layanan kesehatan yang kita terima, namun juga stigma yang melekat pada berbagai penyakit di sekeliling kita. Meski kita ingin beranggapan penyakit hanyalah sekumpulan virus atau bakteri yang berbahaya bagi tubuh, kenyataannya bagaimana kita memaknai suatu penyakit akan menentukan sikap kita dalam memandang dan menangani penyakit tersebut.