Relasi Manusia dengan Dunia Luar

Erick Erikson Theory

Manusia seringkali menilai dirinya dengan menduga persepsi orang lain atas dirinya. Saya menjadi cantik, ketika orang lain memuji saya cantik, sebaliknya juga mungkin terjadi. Perasaan atau emosi seseorang menjadi sangat dipengaruhi oleh orang lain. Di tatanan klinik kita sering menjumpai seseorang mengalami ketersinggungan hebat sehingga ia datang dengan rasa sedih yang luar biasa. Sementara ada orang yang dengan mudahnya mengabaikan persepsi orang lain atas dirinya, dan ia berlenggang ke pokok perhatian lain yang dapat memberi keuntungan bagi mental emosionalnya. Dengan kata popular, seseorang lebih mudah move on dibanding lainnya.

Sepanjang perjalanan hidup manusia, manusia belajar melalui interaksinya dengan orang disekitarnya. Menjadi sensitive, supersensitive atau mengabaikan persepsi orang lain terhadap dirinya, dipelajari oleh mereka yang memahami ilmu perkembangan psikososial seseorang. Orang akan sangat dipengaruhi lingkungan sosial tempat hidupnya. Menurut teori Erick Erikson manusia berkembang hubungan sosial dengan orang sekitarnya sejak ia lahir sampai meninggal. Teori ini mempertentangkan situasi dengan hasil yang berlawanan.

Berikut ini tinjauan teori Erick Erikson tentang perkembangan sosial seseorang.

Trust vs mistrust

Keadaan ini  terjadi ketika anak lahir sampai ia berumur 12 bulan.

Bayi sampai umurnya yang 12 bulan, hidupnya tergantung pada orang di sekitarnya. Kenyamanan dan ketidak nyamanannya tergantung orang dewasa disekitarnya. Ia lapar menimbulkan perasaan tidak nyaman, maka ada orang yang tanggap dan memberinya makanan. Juga untuk kenyamanan basah popoknya, gigitan nyamuk, suhu yang tidak bersahabat. Kita menyebutnya untuk keberlangsungan hidupnya, seorang bayi membutuhkan orang lain.

Ketika ia menangis karena popok basah, lapar ataupun ketidaknyamanan lainnya, ada seseorang yang datang membuatnya nyaman dengan mengganti popok, memberi susu dst. Dengan cara ini ia percaya (trust) bahwa dunia luar itu menyamankan hidupnya. Ia percaya bahwa ketika ia tidak nyaman akan ada masa nyaman yang segera menggantikannya.

Sebaliknya bilamana ia tidak memperoleh pertolongan meski ia telah menyuarakannya melalui tangisnya, ia beranggapan dunia luar itu jahat dan menyiksa dirinya. Ia menjadi tidak percaya pada orang dan lingkungan di sekitarnya.

Rasa percaya dan tidak percaya akan disimpannya dalam memori yang kelak terbangkit bila dipicu suasana lingkungannya yang mirip.

Autonomy vs. Shame/Doubt

Anak-anak berumur 1-3 tahun mulai mencari tahu alam sekelilingnya, orang-orang disekitarnya, situasi di sekelilingnya. Ia mulai meletakkan kedudukan dirinya dengan sekelilingnya. Ketika menjumpai benda, ia raih mencoba melihatnya dari berbagai aspek dan bereaksi atas apa yang diamatinya. Saat ia berjumpa orang, ia perhatikan, dan ia bereaksi atas respon orang itu. Ia mulai membedakan benda yang disentuhnya, dilihatnya, disapanya.

Ia sudah  bisa berjalan, maka ia merasa bebas mengenali dunia sekitarnya, ia merasa mampu mengendalikan dirinya, otonominya. Belajar memandirikan dirinya. Ia memilih makanannya, memilih pakaiannya, dan berkeras memakai pakaian yang diinginkannya. Jika pemilihannya dikekang, dan orang dewasa memaksakan kehendaknya menuruti aturannya maka anak mulai meragukan pilihannya dan menganggap dirinya tidak mampu. Meski pemilihannya tidak tepat benar, perlu orang dewasa disekitarnya memahami otonominya untuk mandiri. Jika kemampuannya tidak dihargai ia mulai meragukan kemampuannya, maka rasa percaya dirinya menjadi rendah atau ia merasa malu.

Initiative vs. Guilt

Pada umur 3-6, anak pra sekolah mulai mempunyai aktivitas berkait dengan orang lain, seperti bermain bersama. Bermain bersama merupakan interaksi sosial. Dalam perkembangan ini anak mulai menunjukan inisiatifnya memulai permainan, mengalihkan permainan atau mengakhirinya. Melalui merencanakan permainan, mencapai goal permainan, berinteraksi dengan kawan sebayanya, adalah pembelajaran cara berelasi dengan teman. Orangtua perlu mengamati, mendukung pilihan anak, dan mengawalnya agar tidak cedera. Dengan demikian rasa percaya dirinya tumbuh, ambisinya mulai berkembang untuk mencapai sesuatu, dan bertanggung jawab melaksanakan rencananya. Ketika orangtua mengekangnya dengan berbagai rambu yang menghalangi fleksibilitasnya, rasa percaya dirinya rendah, dan ketika ia melanggar rambu, ia merasa bersalah.

Industry vs. Inferiority

Anak berumur 6-12 tahun pada umumnya duduk di sekolah dasar dengan tugas2 sekolah, tugas2 rumah dan bermain bersama kawan2. Anak mulai membandingkan dirinya dari kawannya, orantuanya dengan orangtua kawannya, rumahnya denan tetangganya. Ia merasa bangga atas capaian sekolahnya, kreativitasnya, tugas2 yang menjadi kewajibannya.

Ada yang dibanggakannya, ada yang ditirunya dari lingkungan dan ingin mencapai suatu prestasi yang dapat membanggakan. Ia juga belajar kecewa, sedih, gagal. Disini peran orangtua sangat besar mendampingi kekecewaan anak, dan mendorongnya untuk bangun dari kesedihan. Bila tidak didukung, maka ia merasa rendah diri, menganggap dirinya tak mampu berprestasi di sekolah, aktivitas ekstra sekolah dan aktivitas lainnya di lingkungannya.

Identity vs. Role Confusion

Remaja berusia 12-18 tahun menginginkan punya uentitas diri sendiri. Ia mencati jati dirinya. Mulai bertanya, tentang diri, cita2, peran di masyarakat, biarkan ia menjajagi semua peran yang dipilihnya, ia akan sampai pada jati dirinya sendiri sesuai perjalanan hidupnya. Kalau ia berhasil mencoba peran2 tersbut dan memilih focus pada suatu peran, maka kira menilai ia berhasil menentukan jalan hidupnya, Benturan yang sering terjadi adalah orangtua merasa nilai/value anak tak sejalan dengan nilainya, sehingga friksi makin keras, anak makin menjauh dan bingung akan identitas dirinya.

Remaja yag berhasil dalam perkembangan ini akan merupakan dewasa yang tahu tujuan hidupnya, menjalaninya dengan senang, dan penuh tanggung jawab.

Sebaliknya akan terjadi jika ia tidak mapu menuju peran yang yang dianggap tak berguna oleh keluarganya. Ia bingung atas perannya, tujuan hidupnya bahkan tanggung jawabnya.

Intimacy vs isolation

Dimulai dari dewasa awal ketika orang mulai mendekatkan diri pada yang mereka incar sebagai orang terdekat. Pada relasi ini mereka mulai mengikatkan diri dengan janji, komitmen, untuk bersama dan saling memperhatikan. Mereka yang berhasil masuk dalam tahap ini dan merasa bahagia, nyaman, aman, melangsungkan ikatan yang dikukuhkan.

Meski ada ketidaknyamanan dalam ikatan mereka salin memperbaiki diri untuk tetap pada komitmen. Rentu saja untuk memasuki tahap ini, orang telah menempuh perjalanan dari tahap awal sampai ke lima dengan aman dan selesai mengatasi gejolak perkembangan hidupnya. Mempunyai identitas diri dan menggabungkan identitasnya dengan pasangannya, tahu area diri, area bersama, area pasangan dan dapat menerapkannya, merupaan dasar yang sangat penting untuk keberhasilan. Tanpa kemampuan ini orang akan hidup sendiri, menyepi, menarik diri, dan mungkin depresi.

Generativity vs. Stagnation

Usia diatas 20 tahun sampai 40 an merupakan masa seseorang menjalani kehidupan berbagi dengan orag lain, beranak pinak. Kedekatannya dengan pasangan dan mengujudkan bersama generasi berikutnya merupakan tugas utama dalam tahap ini. Maka relasi bukan hanya pada pasangan, tetapi juga dengan anak-anak yang kemudian lahir. Orang dewasa yang tidak mempunyai konsep diri, sangat mungkin tidak memasuki fase ini, merasa kesepian dan secara emosional menarik diri.

Integrity vs. Despair

Mulai usia pertengahan 60 tahun, mulailah perkembangan dewasa lanjut. Pasa tahap ini orang merasakan keerhasilan atau kegagalan hidup yang ditempuhnya. Mereka akan merasa nyaman, bangga bilamana tugas2 kehidupannya selesai, hampir pasti dekat pengujudan dengan cita2. Integritas diri tercapai.

Bagi yang merasa gagal, mereka akan merasa seharusnya, semestinya, saya harus begini dan begitu. Mereka merasa hidup ini pahit, kejam, dan membuat diri mereka berantakan.

Erikson menjelaskan tangga dalam tahapan harus dilalui, satu demi satu, tugas pengasuh anak adalah membawamereka dapat maju ke tahap berikutnya dengan dukugan ketika suka dan duka. Keberhasilan dan kegagalan yang kerap berdampingan perlu dirasakan oleh stiap anak, namun dukungan yang kokoh pengasuh akan membawa mereka ke ara konsep kehidupannya dalam meraih cita2nya.

Untuk mengetahui lebih dalam, kita dapat membaca bukunya Erik Erikson.

Artikel Terkait

Jadikan Anak lebih Bahagia dengan Berbuat Kebaikan

Puasa dan Kesehatan Mental

10 Juta lebih Penduduk Indonesia Alami Gangguan Mental Emosional

Gangguan Mental Emosional Pada Anak

Mengenal Gangguan Ekshibisionisme

Perhatian dan Rekomendasi Terhadap Layanan Kesehatan Bagi Tahanan Perempuan

Previous
Next

Buat janji dokter sekarang

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.