Gaya hidup modern di mana aktivitas sehari-hari banyak dihabiskan di kursi dan kurangnya aktivitas fisik telah menjadi bagian dari kehidupan kota khususnya kota megapolitan seperti Jakarta.
Gaya hidup tersebut dinamakan Sedentary lifestyle dan orang yang mengadopsi gaya hidup tersebut dinamakan sebagai couch potato.
Aktivitas dari sedentary lifestyle meliputi duduk, menonton televisi, memainkan permainan maupun komputer dalam waktu lebih dari 4 jam dalam sehari disertai sedikit atau tanpa aktivitas fisik. Keadaan ini dapat menjadi pemicu munculnya sindrom metabolik.
Sindrom metabolik atau dalam bahasa medis disebut sebagai Insulin Resistance Syndrome, atau Sindrom X merupakan suatu keadaan klinis yang merupakan faktor risiko penting dalam penyakit jantung dan pembuluh darah atau diabetes mellitus tipe 2.
Secara garis besar, sindrom metabolik terdiri dari gejala yang meliputi obesitas sentral, resistensi insulin, hipertensi, dislipidemia, dan disfungsi endotel.
Artikel di bawah akan membahas apa saja yang terjadi pada tubuh seorang couch potato.
Obesitas Sentral (“Central Obesity”)
Pada seorang couch potato didapatkan suatu obesitas sentral yang disebut juga sebagai beer belly, beer gut, pot belly, atau belly fat.
Obesitas sentral terjadi akibat penumpukan lemak abdomen secara berlebihan di dalam rongga perut yang dinamakan rongga peritoneum sehingga menyebabkan membesarnya diameter perut.
Lemak yang disimpan di rongga abdomen tersebut berbeda dengan lemak yang tersimpan di bagian tubuh yang lain seperti kulit dan otot karena mengandung beberapa depot lemak seperti lemak di sekitar ginjal) sedangkan lemak di bawah kulit dan otot memroduksi hormon yang juga berpengaruh terhadap pengaturan kadar lemak di dalam tubuh.
Produk hasil metabolisme lemak di dalam rongga perut langsung memasuki sirkulasi darah di dalam hati sehingga terjadi penimbunan lemak di dalam hati, hal ini disebut lipotoxicity. Akibat lain dari penimbunan lemak di perut tersebut, didapatkan bentuk perut “Apple shaped” apabila penimbunan lemak lebih banyak terjadi di atas garis pinggul dan “Pear shaped” apabila penimbunan lemak lebih banyak terjadi di bawah garis pinggul.
Pada jangka panjang obesitas sentral dapat bepengaruh terhadap timbulnya keadaan resistensi insulin, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar lemak di dalam darah, dan penyakit kardiovaskular.
Pandangan para ahli mengenai penyebab obesitas sentral hingga saat ini adalah terjadi ketidakseimbangan energi.
Dalam hal ini, ketidakseimbangan yang terjadi adalah seseorang mengonsumsi kalori lebih banyak daripada yang diperlukan untuk aktivitas rutin harian.
Para ahli juga menyetujui bahwa obesitas sentral bersifat multifaktorial yaitu terdapat kombinasi antara pengaruh genetik dan lingkungan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan sindroma metabolik adalah pengonsumian fruktosa, estrogen, merokok, gangguan pengaturan kadar lemak darah, dan menurunnya sensitivitas insulin.
Kriteria obesitas sentral dinilai dari ukuran diameter lingkar pinggang menurut kriteria NCEP:ATPIII 2001.
Seorang pria dikatakan memiliki obesitas sentral bila diameter lingkar pinggangnya > 102 cm dan pada perempuan dikatakan memiliki obesitas sentral bila diameter lingkar pinggangnya > 88 cm.
Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana tubuh tidak menggunakan insulin secara efektif.
Ketika seseorang mengalami resistensi insulin, maka terjadi penurunan jumlah glukosa yang dimanfaatkan sel sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam peredaran darah sehingga terjadi kenaikan kadar glukosa darah.
Dengan adanya keadaan ini, tubuh memerlukan konsentrasi insulin lebih tinggi agar glukosa dapat masuk ke dalam sel. Sel beta pankreas, sebagai penghasil insulin akan bekerja lebih keras agar dapat menghasilkan insulin lebih banyak sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel.
Bila hal ini terus terjadi, suatu saat pankreas kerja pankreas dalam memroduksi insulin mencapai kapasitas maksimal sehingga terjadi kenaikan kadar gula dalam darah.
Resistensi insulin bila terus berlanjut akan menyebabkan diabetes mellitus tipe II.
Keadaan resistensi insulin ini sering tidak disadari oleh banyak orang dan baru mendapat perhatian ketika sudah berada dalam tahap diabetes mellitus tipe II. Keadaan ini terjadi akibat sel beta gagal memenuhi kebutuhan insulin yang dibutuhkan oleh sel tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sehingga glukosa darah banyak tertumpuk di aliran darah dan menyebabkan diabetes mellitus tipe II.
Hingga saat ini, belum ditemukan penyebab pasti yang dapat menyebabkan resistensi insulin, namun faktor yang dapat menjadi kontributor terjadinya resistensi insulin adalah: obesitas, inaktivitas fisik, penyakit kronis, hormon, penggunaan obat-obatan, merokok, dan keadaan sleep apnea.
Banyak penelitian memberikan kesimpulan bahwa kurangnya aktivitas fisik memiliki hubungan terhadap resistensi insulin. Glukosa sebagai sumber energi lebih banyak digunakan oleh otot daripada jaringan lain.
Glukosa otot akan dibakar sebagai sumber energi dan kemudian otot akan mengambil glukosa yang beredar di dalam peredaran darah sebagai sumber energi, sehingga tercapailah keseimbangan.
Setelah melakukan aktivitas seperti olah raga, sensitivitas otot terhadap insulin akan meningkat sehingga glukosa di dalam darah akan banyak diserap oleh otot sebagai bahan energi.
Olah raga juga dapat membantu otot untuk menyerap glukosa secara langsung, sehingga apabila persentase otot di dalam tubuh semakin besar, maka kemampuan otot untuk memergunakan glukosa sebagai bahan energi akan semakin besar pula.
Bagaimana Diagnosis dari Sindrom Metabolik?
Seperti yang telah dikatakan di atas, kriteria diagnosis dari sindroma metabolik menganut NCEP-ATPIII 2001 (National Cholesterol Education Programme Adult Treatment Panel III) dan kriteria IDF (International Diabetic Federation) yang akan dijelaskan di bawah ini.
Diagnosis Sindrom Metabolik
Kriteria NCEP: ATP III 2001
Sindrom metabolik didapatkan apabila didapatkan tiga atau lebih manifestasi klinis di bawah ini:
- Obesitas sentral: Lingkar pinggang > 102 cm (laki-laki), > 88 cm (perempuan)
- Hipertrigliseridemia: Kadar trigliserida di dalam darah ≥ 150 mg/dL
Kadar HDL kolesterol: < 40 mg/dL (laki-laki) dan < 50 mg/dL (perempuan) - Hipertensi: Tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 85 mmHg Glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dL atau adanya riwayat diabetes melitus tipe 2 Kriteria IDF
Kriteria pada umumnya sama dengan NCEP: ATP III 2001 namun terdapat 1 perbedaan kriteria yaitu batas lingkar pinggang untuk obesitas sentral yang ditentukan dari ras.
- Obesitas sentral:
- Eropa: ≥ 94 cm (laki-laki), ≥ 80 cm (perempuan)
- Afrika Sub-Sahara, Timur tengah, Asia Selatan, Daratan China Selatan, Amerika Latin, dan Jepang: ≥ 90 cm (laki-laki), ≥ 80 cm (perempuan)
Bagaimana tatalaksana sindrom metabolik?
Obesitas adalah faktor risiko yang paling dapat dikenali dan dicegah pada sindrom metabolik, jadi penatalaksanaan sindrom metabolik yang paling mudah dan praktis adalah dengan pengendalian berat badan.
Secara umum, penurunan berat badan dicapai dengan adanya kombinasi pembatasan kalori, meningkatkan aktivitas fisik, dan modifikasi perilaku gaya hidup dengan mengadopsi gaya hidup sehat.
Obat-obatan mungkin dapat digunakan untuk tatalaksana obesitas, mengatasi resistensi insulin, mengontrol kadar kolesterol darah, dan untuk mengontrol tekanan darah tinggi.
Sindrom metabolik bukan merupakan kondisi kesehatan yang baik bagi kita semua. Oleh karena itu, hendaklah kita menjaga diri kita dengan mempraktekkan pola hidup sehat, rajin berolahraga, menjaga pola makan, dan rajin memeriksakan diri minimum setahun sekali untuk mengetahui keadaan kesehatan kita.
So, Are you a Couch Potato?