Femisida di Indonesia: Laporan Data Jakarta Feminist

Rangkuman Laporan Data dan Kegiatan

Dalam beberapa tahun terakhir, femisida telah menjadi isu kritis di Indonesia, meskipun istilah ini masih belum umum dalam wacana hukum maupun sosial. Femisida, atau pembunuhan perempuan berdasarkan gender, belum diakui sebagai kejahatan khusus dalam hukum Indonesia.

Meskipun tidak ada pengakuan hukum, meningkatnya jumlah kasus femisida di seluruh negeri telah memicu seruan mendesak untuk perhatian dan tindakan. Laporan Femisida 2023, yang disusun oleh Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist), menyoroti 180 kasus femisida yang terdokumentasi pada tahun 2023, menekankan perlunya pendekatan komprehensif untuk menangani kejahatan ini.

Angsamerah, sebagai penyedia layanan kesehatan dan yayasan, berada pada posisi yang unik untuk merespons dengan menangani dimensi medis, psikologis, dan sosial dari kekerasan berbasis gender. Angsamerah dapat membantu membentuk intervensi langsung maupun solusi jangka panjang untuk mencegah femisida dan melindungi populasi yang rentan.

Tren Utama dari Laporan Femisida 2023

  1. Prevalensi dan Demografi: 94% pelaku adalah laki-laki, dan 36% dari korban dan pelaku berusia antara 26-40 tahun, menunjukkan bahwa kejahatan ini sering terjadi dalam hubungan intim atau keluarga.
  2. Metode dan Motif: Kekerasan fisik adalah metode paling umum (36%), dengan masalah komunikasi (26%) diikuti oleh kecemburuan atau perselisihan romantis sebagai motif utama.
  3. Distribusi Geografis: Sebagian besar kasus femisida terjadi di Pulau Jawa, dengan Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah mencatat jumlah kasus tertinggi.
  4. Peliputan Media dan Tanggapan Hukum: Banyak kasus femisida yang kurang dilaporkan atau diberitakan secara sensasional, dengan hanya 38% pelaku yang mendapat hukuman hukum, menunjukkan kesenjangan besar dalam kesadaran publik dan respons sistem peradilan terhadap kekerasan berbasis gender.

Memahami Femisida dalam Konteks Indonesia

Meskipun femisida merupakan istilah yang mapan secara internasional, terutama di negara-negara di mana kekerasan berbasis gender diakui sebagai masalah hak asasi manusia, Indonesia belum memasukkan femisida dalam terminologi hukumnya.

Ketiadaan istilah ini dalam sistem hukum menciptakan kesenjangan signifikan dalam pemahaman dan penuntutan kejahatan-kejahatan ini. Di Indonesia, femisida sering diperlakukan sebagai tindakan kriminal umum tanpa mengakui akar gender dari kejahatan tersebut.

Laporan Femisida 2023 menyoroti bentuk-bentuk kekerasan sistematis dan struktural yang menyebabkan pembunuhan perempuan, yang sering kali disebabkan oleh misogini budaya, dominasi patriarki, dan ketidakseimbangan kekuasaan berbasis gender. Kesenjangan dalam terminologi hukum ini perlu segera diatasi agar femisida dapat diakui, didokumentasikan, dan diproses secara hukum secara efektif.

Penelitian dan Pengumpulan Data tentang Femisida

Saat ini, penelitian dan data tentang femisida di Indonesia masih terbatas pada laporan dari Jakarta Feminist dan Komnas Perempuan. Meskipun kedua organisasi ini telah membuat kemajuan signifikan dalam mendokumentasikan kasus femisida, datanya masih belum lengkap dan sering kali bersifat kualitatif.

  • Komnas Perempuan memulai upaya awalnya untuk mendokumentasikan femisida pada 2013, dengan analisis kualitatif yang lebih rinci dilakukan pada 2017. Namun, baru pada 2021 Komnas Perempuan mulai melakukan studi kuantitatif tentang femisida, menandai upaya pertama untuk menghitung skala masalah ini secara sistematis.
  • Pada tahun 2023, upaya ini diperluas melalui kerja sama dengan Jakarta Feminist, menghasilkan data yang lebih komprehensif tentang kasus femisida di seluruh Indonesia. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menciptakan dataset femisida yang sepenuhnya terintegrasi dan komprehensif.

Pengumpulan data tentang femisida yang dilakukan oleh negara masih dalam tahap awal. Saat ini belum ada catatan resmi tentang kasus-kasus femisida yang melibatkan negara, dan insiden ini sering kali tidak dilaporkan atau tertutupi, menunjukkan masalah akuntabilitas yang lebih besar. Ke depan, pembuatan basis data yang terpusat dan terperinci tentang femisida sangat penting untuk mengarahkan kebijakan dan kerangka hukum.

Kerangka Hukum: Langkah Awal Menuju Perlindungan Korban

Meskipun istilah hukum “femisida” tidak ada, Indonesia telah membuat beberapa kemajuan dalam menciptakan kerangka kerja untuk perlindungan korban melalui PERMA No. 3 Tahun 2017 dan PERMA No. 1 Tahun 2020. Peraturan ini membahas akses keadilan yang berpusat pada korban, memastikan bahwa korban kekerasan berbasis gender memiliki akses yang lebih besar terhadap pemulihan hukum dan langkah-langkah perlindungan.

Namun, kerangka ini masih belum cukup untuk menangani sifat khusus dan ekstrem dari femisida. Advokasi untuk pengakuan hukum terhadap femisida, bersama dengan penegakan yang lebih kuat dari undang-undang yang ada, sangat penting untuk meningkatkan hasil keadilan bagi korban.

Perspektif Masyarakat Sipil dan Kesehatan terhadap Femisida

Sebagai penyedia layanan kesehatan dan yayasan advokasi, Angsamerah berada pada posisi yang unik untuk menangani aspek-aspek kesehatan dari femisida. Dengan memperluas layanannya untuk memasukkan fokus khusus pada kekerasan berbasis gender (GBV), Angsamerah dapat memainkan peran penting dalam beberapa cara:

1.     Menyediakan Perawatan Berbasis Trauma:

Korban kekerasan berbasis gender, termasuk mereka yang selamat dari upaya femisida, sering membutuhkan perawatan fisik dan psikologis. Layanan dukungan kesehatan mental Angsamerah sudah dilengkapi untuk memberikan konseling, tetapi ada peluang untuk mengembangkan program khusus yang berfokus pada pemulihan pasca trauma, yang menangani kebutuhan korban kekerasan ekstrem.

2.     Memperkuat Layanan Kesehatan untuk Korban GBV:

Dengan memasukkan skrining rutin untuk kekerasan dalam rumah tangga di klinik-kliniknya, Angsamerah dapat membantu mengidentifikasi perempuan yang berisiko menjadi korban femisida. Intervensi segera melalui konseling dan langkah-langkah perlindungan dapat membantu menyelamatkan nyawa. Melalui pelatihan bagi penyedia layanan kesehatan untuk mengenali tanda-tanda kekerasan, Angsamerah dapat menjadi garis pertahanan pertama terhadap kekerasan berbasis gender.

3.     Pengumpulan Data yang Komprehensif:

Angsamerah dapat bekerja sama dengan organisasi seperti Jakarta Feminist dan Komnas Perempuan untuk mendukung upaya pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif. Hal ini untuk memastikan pemahaman yang lebih mendalam tentang akar penyebab femisida, polanya, dan dampaknya.

Femisida di Indonesia merupakan masalah yang berkembang dan memerlukan pendekatan multifaset untuk menangani dimensi hukum dan sosial dari masalah ini. Angsamerah, dengan peran gandanya sebagai penyedia layanan kesehatan dan yayasan advokasi, dapat memimpin dalam meningkatkan perawatan korban, meningkatkan kesadaran publik, dan mengadvokasi perlindungan hukum yang lebih kuat. Dengan demikian, Angsamerah dapat membantu menciptakan masa depan di mana perempuan bebas dari ancaman kekerasan, didukung oleh sistem yang memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan mereka.

Referensi

Laporan Kegiatan Lokakarya Isu Femisida di Indonesia, di Morrisey Hotel Jakarta, Kebon Sirih, 24 Oktober 2024 / 10.00 – 12.00, Tim Angsamerah: Kurnia Dwijayanto & Sylvia

 

Femisida dan Komunitas Termarginalkan

12 Infeksi Menular Seksual Yang Perlu Diwaspadai

IUD Cu 375 Sleek

Jamur Yang Tumbuh Di Setiap Musim

Si Mungil Yang Praktis dan Banyak Manfaat (PIL KB)

Tips Agar Hamil

Sebelumnya
Selanjutnya

Bermitra dengan kami sekarang

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.