Anaia Belajar Jatuh Cinta

21:00, 21 Desember 2021: Ciuman di pipi pertamanya; Anaia

Liburan sekolah kali ini tidak terlalu menyenangkan. Anaia mudik ke Yogyakarta bersama Papa dan Mama. Semua saudara berkumpul di rumah nenek, seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, Anaia menantikan momen ini, tapi kali ini berbeda. Pikirannya menerawang ke mana-mana.

Anaia ingin segera kembali ke Jakarta atau bertamasya ke tempat lain yang lebih seru. Ia kesal dengan Papa dan Mama. Enggan beramah-tamah dengan om dan tantenya. Enggan bermain dengan sepupu-sepupu yang lebih muda—hey, she’s too cool for that. Tahun ini, teman-temannya pergi ke Singapura, Australia, Bali, Lombok, Sumba. Sementara ia? Kembali ke tempat yang sama. Anaia malu. Anaia bosan.

Di seberang ruangan, kakak sepupunya, Sherina, bermain ponsel. Sama bosannya. Rumah nenek adalah tempat tinggal Sherina, tapi hari ini rasanya seperti taman bermain bagi semua saudara kecil mereka yang masih SD dan TK. Tiba-tiba, Sherina tertawa kecil, lalu menghampiri Anaia dan berbisik, “Wanna go somewhere?” Mata Anaia membulat, dan ia mengangguk cepat.

Sore itu, Anaia dan Sherina berpamitan kepada keluarga, mengaku hanya pergi ke minimarket. Tidak ada yang curiga. Namun, mereka tak kunjung kembali, dan kekhawatiran mulai menyelimuti keluarga.

Di depan minimarket, teman-teman Sherina sudah menunggu dengan mobil. Salah satu dari mereka baru berulang tahun ke-17 dan dibolehkan mengemudi. Anaia tidak tahu hendak ke mana mereka, tetapi ia dengan mudah percaya. Sensasi ini membuatnya bersemangat—sebuah dorongan yang sulit dijelaskan. “Seru sekali!” ujarnya, saat mobil menderu meninggalkan minimarket.

Angin dari jendela menyapu wajah Anaia. Jantungnya yang berdebar—bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang baru. Perasaan bebas. Perasaan dewasa. Perasaan yang membuatnya ingin terus bergerak maju. Apakah ini dorongan untuk mengambil risiko? Ia pernah membaca tentang prefrontal cortex yang belum matang di usia remaja—mungkin ini alasannya. Dorongan impulsif yang tak bisa ia tolak.

Sepanjang perjalanan, mereka bernyanyi sepuasnya; makan kudapan sebanyak-banyaknya. Sherina duduk di depan bersama temannya yang menyetir, sementara Anaia di belakang, di samping seorang laki-laki yang tak benar-benar ia kenali. Namanya tak tertangkap jelas saat diperkenalkan—Anaia terlalu terkesima. Jadi, ia hanya memanggilnya ‘Kak’. Ia terlihat baik dan keren, seperti seseorang yang akan masuk tim basket atau bermain band. Anaia langsung terpikat. Perasaan apa ini? Apakah aku suka? pikirnya. Jangan sampai ada yang tahu.

Sepanjang perjalanan, Kakak sering menoleh ke arahnya, tertawa bersama mereka, dan sesekali menyentuh bahunya saat bercanda. Awalnya, Anaia tersipu—ini seperti di film-film remaja, bukan? Tangannya terasa dingin, tetapi ada percikan aneh dalam dadanya yang membuatnya merasa istimewa.

Namun, semakin lama, semakin banyak yang terasa janggal. Kadang, jemarinya bermain dengan ujung rambut Anaia. Ia tertawa seolah itu hal yang wajar. Anaia membeku. Setiap kali ia menggeser tubuhnya sedikit menjauh, Kak itu justru makin mendekat.

Saat Kakak mencoba menggenggam tangannya, Anaia menahan napas. Sebagian kecil dirinya masih ingin percaya bahwa ini bagian dari romansa yang ia bayangkan. Tapi ada sesuatu yang menusuk di benaknya—ketidaknyamanan yang merambat perlahan, memenuhi dadanya. Dengan ragu, ia menarik tangannya perlahan.

Akhirnya, mereka tiba di pantai selatan Yogyakarta. Matahari hampir tenggelam di antara tebing dan lautan, menciptakan cahaya keemasan yang memantul di permukaan. Anaia masih berbincang dengan Kakak, meski ada sesuatu yang mengendap di sudut hatinya. Kakak tak lagi berusaha menggenggam tangannya, tetapi jemarinya masih sesekali bermain dengan rambut Anaia, seperti kebiasaan yang sulit dilepaskan.

Mereka semua memutuskan untuk tinggal lebih lama. Api unggun kecil menyala di tengah lingkaran mereka. Tawa bercampur dengan suara ombak. Sherina memainkan lagu dari ponselnya, dan teman-temannya mulai menggoyangkan kepalanya mengikuti irama.

Anaia merasa seperti tokoh utama di film layar lebar, meski baru 13 tahun usianya. Langit keemasan berganti menjadi langit bertabur bintang. Lebih dari itu, ia merasa cantik dan diterima—sebab ada seorang laki-laki keren, tiga tahun lebih tua darinya, yang memperhatikannya. She feels like she belongs. Perlahan, ia kembali menyukai Jogja.

Namun, udara laut mulai terasa dingin, dan kerinduannya pada Papa dan Mama menggelayut. Sherina melirik Anaia, membaca kegelisahannya. Tanpa banyak basa-basi, ia berdiri. “Ayo pulang, udah kemaleman.”

Di perjalanan pulang, langit semakin gelap. 21:00, mereka tiba kembali di rumah nenek. Di dalam mobil, Kakak tersenyum sebelum mencondongkan tubuh. Anaia menegang saat wajahnya mendekat. Bibirnya hampir menyentuh bibir Anaia, tapi refleks, ia menoleh—suatu batasan. Bibir itu akhirnya mendarat di pipinya. Ringan, cepat, seolah itu hal yang biasa. Dadanya terasa penuh. Did someone see that? Apa yang akan mereka pikirkan? Tapi bahkan jika tidak ada yang melihat, sesuatu dalam dirinya terasa baru—campuran ketakutan, kegelisahan, dan sesuatu yang membuat dadanya terasa hangat. Jantungnya berdetak tak menentu. Apakah ini jatuh cinta? Atau sekadar efek dari lonjakan allopregnanolone yang mengacaukan persepsinya? Anaia tak tahu pasti. Yang jelas, ada sesuatu yang telah berubah—sesuatu yang ia belum sepenuhnya mengerti, tetapi mulai ia rasakan di kedalaman dirinya.

Tidak hanya tentang ciuman di pipi. Tentang tubuhnya yang tiba-tiba semakin tinggi, juga tentang payudara yang mulai tumbuh serta suara yang mulai berubah.

Lalu, tentang perasaan yang terbesit kemudian mengilhamkan getaran yang tak dimengertinya. Tentang menyukai seseorang dan malu mengutarakannya. Tentang keinginannya untuk jadi diri sendiri, namun diterima teman-temannya

Tentang mengkhawatirkan apa kata orang; tentang merasa tidak cukup cantik untuk dicintai; tentang membandingkan diri dengan gadis-gadis di layar TV. Pada akhirnya, tentang menyadari dan menikmati masa remaja yang baru saja mampir supaya tak segera berlalu. Menikmati masa ketika cemberut dan marah-marah tidak jelas adalah proses harian. Tentang mengusahakan diri menjadi versi terbaik. Tentang jatuh cinta namun mampu memberi batasan.

Di rumah nenek, Papa dan Mama langsung menghujaninya dengan pertanyaan. “Dari mana saja, Nai, Sher? Kenapa lama sekali? Kok enggak bilang-bilang kalau pergi?” Suara mereka lebih lega daripada marah.

Anaia menunduk, menggigit bibir bawahnya. Setengah takut dimarahi, setengah sibuk mencerna perasaan di dadanya. Ia masih bisa merasakan jejak hangat di pipinya.

Satu dari banyak ciuman pertama nanti, pikirnya.

“Maaf,” ujarnya pelan.

Mama menghela napas, merangkulnya. Papa hanya menggeleng pelan. “Ayo, tidur. Besok cerita pas sarapan.”

Di tempat tidur, saat kepalanya menyentuh bantal, Anaia tersenyum kecil. Hari ini menyenangkan sekali. Meski banyak yang belum ia pahami, tapi ia tahu, ia baru beranjak remaja; akan banyak waktu untuk menemukan jawabannya.

Artikel Terkait

Dan Aku pun bisa tegar

Sexual Abuse: A Survivor Story

Hakikat Cinta

A “Heart” Disease

Mendengarkan Tubuh: Perjalanan Kirana Menuju Pemahaman Diri

Sebelumnya
Selanjutnya

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.