1. Kami menjual seks demi mendapatkan uang
2. Kami dianggap tidak bermoral
3. Kami dianggap sampah Masyarakat
Fakta
Kenapa kami yang menjual jasa seks saja yang dianggap komersil?
Apakah selama ini pekerjaan lainnya tidak komersil alias tidak mengharapkan bayaran?
Contoh dokter sekalipun, tetap bekerja untuk mendapatkan bayaran bukan?
Lalu kenapa hanya kami yang menjadi pekerja seks yang mendapatkan stigma mengkomersilkan pekerjaan kami?
Menjadi pekerja seks, hanya itu yang kami bisa lakukan untuk menghidupi anak-anak dan keluarga kami. Itu semua kami lakukan karena rendahnya pendidikan kami, sehingga kami tidak bisa mencari pekerjaan lain seperti pekerja kantoran, kami termiskinkan oleh negara dengan sebutan komersil di belakang pekerjaan kami, oleh karena itu cap buruk terhadap kami selalu datang dari masyarakat yang bekerja dibidang lain.
Kamipun pernah bekerja dibidang lain, seperti layaknya buruh cuci, dan pembantu rumah tangga.. namun penghasilan itu tidak mampu menghidupi anak dan keluarga kami. Hanya menjadi pekerja seks membuat kehidupan keluarga kami sedikit membaik, anak-anak kami bisa sekolah, bisa makan 3 kali sehari, kami bisa membantu emak dan bapak kami untuk kehidupan sehari-hari…meskipun perih dan sakit kami rasakan, hinaan dan cacian kami dapatkan, berbagai ketidak adilan harus kami terima.
Kenapa kami dianggap tidak bermoral? Apa karena menjadi pekerja seks tidak bermoral?
Negara dan masyarakat lupa bahwa pekerja seks sudah ada sejak jaman nabi? Apa ukuran standard moral yang sering digunakan untuk mencap buruk seorang pekerja seks itu tidak bermoral? Bagaimana dengan koruptor? Apakah mereka bermoral?? Bagaimana dengan laki-laki yang menjadi pelanggan kami?? Pelanggan kami datang dari semua kalangan, baik PNS, anggota DPR, bahkan juga dari kelompok keagamaan dan kelompok fundamentalis pun mereka datang mencari kami untuk mendapatkan layanan seks. Lalu kenapa hanya kami yang dianggap tidak bermoral?
Kami dianggap sampah masyarakat?
Itu karena pekerjaan kami dianggap mengganggu oleh masyarakat, kami pengganggu rumah tangga orang, kami perusak generasi bangsa. Namun jika sedikit saja negara dan masyarakat mau memahami dan mengerti kami, kami pekerja seks tidak pernah mengganggu masyarakat..bahkan masyarakat yang hidup karena keberadaan kami..seperti tukang ojek, mami, penjual makanan, sampai ke tukang kreditpun mendapatkan penghidupan karena keberadaan kami..lalu, ketika merebaknya penyakit HIV kami lagi yang kena getahnya. Kekurangtahuan informasi tentang kesehatan, posisi tawar kami yang rendah di depan klien/pelanggan (pembeli adalah raja) oleh karena itu banyak pelanggan yang ingin “enak” sehingga tidak menggunakan kondom.
Ketika kami sudah paham informasi kesehatan, kami selalu tawarkan kondom kepada pelanggan sebelum bertransaksi, namun ketika ada razia, dan kedapatan kami membawa kondom, maka kondom itu akan dijadikan sebagai barang bukti untuk menjerat kami. Sehingga kami masih takut membawa kondom, karena maraknya razia. Razia yang dilakukan oleh polisi dan satpol PP membuat jumlah pengunjung dilokalisasi menjadi berkurang, pendapatan kami pun berkurang, dan banyak pelanggan “nakal” yang menawarkan uang lebih agar kami tidak usah menggunakan kondom.
Demi mendapatkan uang untuk kami makan hari itu, akhirnya kami masih belum mampu menggunakan kondom 100 persen dalam setiap transaksi, dan kami juga yang disalahkan ketika epidemi HIV AIDS merebak. Negara dan masyarakat melupakan bahwa laki-laki yang menjadi pelanggan kamilah yang menjadi sumber penularan.
Negara dan masyarakatpun melupakan, bahwa banyak pekerja seks perempuan yang juga terinfeksi HIV dari pelanggannya. Namun stigma ganda yang sangat buruk hanya dipikul oleh pekerja seks yang terkena HIV, mereka dikeluarkan dari tempat kerja, mereka dicaci sebagai penyebar penyakit. Negara dan masyarakat lupa, yang berpindah-pindah adalah si pelanggan “nakal” yang tidak mau menggunakan kondom!!! Lalu atas nama menyelamatkan penyebaran penyakit ini, banyak tempat kerja kami yang ditutup. Dengan ditutupnya tempat bekerja kami, kami tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan anak kami, anak kami terancam tidak bisa sekolah setinggi-tingginya.
Negara melupakan, bahwa dengan ditutupnya lokalisasi, dan karena kebutuhan hidup kami yang tidak pernah ada solusi yang baik dari pemerintah, maka pekerja seks tetap menyebar untuk kembali bekerja menjadi pekerja seks. Teman-teman kami menyebar di jalanan..menyebar ke lokalisasi / tempat lain..
Negara melupakan bahwa akan semakin susahnya untuk mengkondisikan pekerja seks yang menyebar, akan semakin susah menjangkau pekerja seks untuk diberikan informasi, pekerja seks yang hidup dengan HIV pun akhirnya menghilang berpindah.. Apakah ini yang negara sebut program baik untuk menyelamatkan anak bangsa?? Apakah kami pekerja seks dan anak-anak kami bukan anak bangsa yang patut juga untuk anda perhatikan dan diselamatkan?? Namun Negara melupakan kami, melupakan hak kami dan hak anak kami.. Negara dan masyarakat merampas semua itu..dengan menutup lokalisasi.
Ketika berbicara akses layanan kesehatan, maka ini adalah hak semua warga negara untuk mendapatkan akses layanan kesehatan tanpa stigma dan diskriminasi tanpa terkecuali bagi kami pekerja seks.
Banyak hal yang sudah dilakukan guna memperbaiki mutu layanan, guna mendapatkan akses yang mudah untuk layanan. Namun tak jarang juga masih ada penyedia layanan yang masih saja menstigma dan mendiskriminasi ketika kami pekerja seks yang mengakses layanan itu. Bukan kami meminta untuk di utamakan atau di spesialkan ketika kami mengakses layanan, namun kami hanya meminta empati dari petugas layanan untuk memudahkan layanan bagi kami tanpa stigma dan diskriminasi terhadap kami.
Stigma tidak saja muncul dari ucapan penyedia layanan yang sering kami dengar dengan memberikan pertanyaan-pertanyan: kenapa kami harus menjadi pekerja seks? atau kenapa tidak mencoba cari pekerjaan lain?
Bukan itu saja, dalam melakukan tindakan perawatan kepada yang sudah terinfeksi HIV juga masih ada beberapa penyedia layanan memperlakukan teman kami seperti canggung dan dengan gaya ’seolah’ enggan memegang dan menyingkap selimut dalam memeriksa pasien. Terlebih ketika si pasien diketahui adalah pekerja seks yang hidup dengan HIV, maka selalu saja kami lagi-lagi disarankan untuk mencari pekerjaan lain.
Tanpa disuruhpun kami juga tidak ingin menjadi pekerja seks selamanya. Kami ingin beralih profesi, namun peluang yang kami dapatkan tidak semudah yang anda bayangkan. Anda dan masyarakat lainnya yang lebih beruntung daripada kami, dari andalah kami meminta bantuan dan dukungan untuk kami dan teman-teman kami dari pekerjaan yang anda punyai. Anda membantu kami dalam hal layanan yang tidak diskriminatif pada kami, layanan yang ramah bagi kami baik dari waktu dan biaya, serta bisa memberikan layanan yang komprehensif bagi kami dimana layanan kekerasan juga teriintegrasi dalam layanan HIV. Karena kami sebagai pekerja seks juga banyak mengalami kekerasan baik pada saat kami bekerja dan diluar pekerjaan ini, sehingga membuat kami rentan terhadap IMS dan HIV.
Demikian surat harapan kami, bantuan dan dukungan dari penyedia layanan sangat kami harapkan.
Salam solidaritas.
Surat Suara Harapan Komunitas, khusus dibacakan di acara Study Tour dan Lokakarya yang diselenggarakan oleh Angsamerah bekerjasama dengan SUMII USAID “Pengayaan Praktis; Pengelolaan Strategi Bisnis di Layanan Kesehatan Primer terkait (SEX, HIV & DRUGS), untuk 6 Klinik Mitra Program SUM II, USAID, di 4 Provinsi” Jakarta, 12–16 Januari 2015