Sudah banyak yang dikerjakan oleh Dokter Indonesia, hal itu tidak bisa dinafikan. Dokter yang dimaksud disini adalah dokter di layanan primer. Mereka bertugas dan tinggal di tempat-tempat terpencil di ujung-ujung negara ini. Disudut-sudut Republik tercinta ini. Di kampung-kampung kumuh. Di pulau-pulau terpencil. Di batas-batas negeri ini.
Di tempat-tempat yang tidak disadari oleh hampir sebagian besar warga republik ini mereka berada dan bertugas. Kehadiran mereka hanya disadari oleh masyarakat kecil ditempat mereka bertugas. Tak ada berita tentang pekerjaan mereka. Tak ada ekspose di media massa. Tak ada cerita di “face book”. Tak ada cerita di kompasiana. Masyarakat juga tidak mampu berberita kepada petinggi-petinggi republik ini bahwa mereka mempunyai dokter yang tangguh dan sangat mereka hargai.
Mereka tidak punya akses internet. Kalaupun akses internet ada, mereka tidak mempunyai kemampuan menceritakan hal itu kepada saudara-saudara mereka yang berada di kota.
Keberadaan mereka di Ibukota Kabupaten juga hanya ada dalam hitungan-hitungan angka. Hitung-hitungan statistik. Kepala Dinas hanya menghitung kehadiran puskesmas. Terserah siapa yang mewakili, boleh bidan, perawat, petugas kesling (kesehatan lingkungan) atau siapapun lah. Paling ditanyakan kepada petugas kenapa dokternya tidak datang. Mereka datang ke ibukota kabupaten paling sekali beberapa bulan untuk rapat.
Kalau mereka datang ke Ibukota Kabupaten, mereka sering menempuh jarak yang cukup jauh. Sering malahan berangkat sehari sebelumnya karena jalan yang ditempuh adalah jalan tanah berlumpur. Perjalanan tengah malam sering melewati hutan lebat.
Bayaran dan imbalan mereka. Mohon jangan ditanyakan. Dengan sistem lama mereka hanya menerima gaji dan sedikit honor-honor program di puskesmas. Mereka mengumpulkan recehan-recehan honor dan sisa uang beli premium. Sayangnya premium ditempat mereka juga mahal. Aduh miris banget.
Sekarang mereka dibayar dengan sistem kapitasi. Semakin banyak dokter maka semakin besar kapitasi mereka. Sering sekali mereka hanya dokter satu-satunya di layanan primer karena jarang ada yang mau bertugas jauh-jauh ke pelosok. Maka bayaran kapitasi mereka semakin sedikit. Untuk kerja faktanya terbalik. Makin sedikit dokter, maka semakin berat beban mereka. Tetapi saat ini mereka makin sedikit dibayar. Logika yang kadang kadang sudah terbolak balik.
Masyarakat sering sangat peduli, membawakan buah-buahan dan oleh-oleh serta buah tangan untuk dokternya. Jangan tanya apa oleh-olehnya. Pisang, ubi, gula aren, ayam…..hehehe. Alhamdulillah.
Dengan kondisi yang begitu sulit dan beban tugas berat mereka bekerja. Ancaman sakit malaria itu hal biasa. Demam tifoid jangan ditanya. Diare itu mah sudah sehari- hari. Tetapi hebatnya banyak mereka yang “survive”, dan sekali-kali ada teman mereka yang sakarat dan terekspose di media massa. Tetapi walaupun terekspose, yang dibahas bukanlah hulu masalah kesulitan di layanan primer. Sesudah selesai sang dokter dibawa ke rumah sakit di kota maka berita itu cepat sekali meredup. Seperti hujan besar tidak meninggalkan sisa apa .
Problem sekarang ini adalah indikator kesehatan kita lambat meningkatnya. Sehingga perlu dilakukan reformasi dibidang kesehatan. Maka dengan sigap bersiap siaplah bapak-bapak kita di Ibu Kota, mereka mengadakan simposium, seminar, focus group discussiondan meeting. Ujung-ujungnya adalah perlu perbaikan dan diperlukan anggaran untuk itu. Maka diaturlah supaya keluar anggaran yang besar untuk reformasi sistem kesehatan di layanan primer.
Malangnya dan sangat menyedihkan, yang jadi korban kembali adalah dokternya. Dokter yang bertugas dilayanan primer tidak berkompeten. Dokter di layanan primer tidak mampu, dokter dilayanan primer perlu diperbaiki. Dan tragisnya yang berbicara itu adalah mereka mereka yang pernah juga menjadi dokter dilayanan primer. Padahal mereka dididik dengan sistem yang katanyamumpuni. Sistem pendidikan berbasiskan kompetensi. Sistem yang mereka bentuk sendiri mereka ingkari.
Ada obat mujarab yang akan menyelesaikan semua ini. Harus dididik lagi mereka selama sekian tahun untuk menjadikan mereka mumpuni. Seolah-olah itu adalah obat ajaib yang akan menyelesaikan semua masalah. Memanglah kita ini serba instan, makanya “air ponari” juga sangat laku di negeri ini menjadi obat instan. Ini juga ada obat instan untuk reformasi kesehatan kita. Suruh mereka pendidikan lagi. Aduh, mau saya sembunyikan kemana wajah ini. Malu saya. Ini sama saja seperti menggunakan “air ponari” untuk menyelesaikan masalah kesehatan.
Dengan kondisi sekarang, bahkan bapak-bapak dan ibu-ibu kita yang berada di jalan Rasunah Said Jakarta (Gedung Kementerian Kesehatan-red) yang mentereng itu kita kirim ke pelosok puskesmas tak akan menyelesaikan masalah. Kurang apa kompetensi mereka. Sangat hebat. Mereka malahan akan jadi sumber masalah. Payung dibawain, sepatu di pegangin, mobil disopirin, jalan kaki tak bisa. Lucunya mereka punya obat mujarab menyelesaikan masalah kesehatan republik ini.
Berhentilah mencari obat instan menyelesaikan masalah kesehatan republik ini. Masalah ini tidak sedehana. Jika kondisi pembiayaan kesehatan kita masih rendah dan kita tidak menempatkan masalah kesehatan sebagai prioritas untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di negeri tercinta ini, maka masalahnya tak akan selesai.
Mau anda tingkatkan kualitas SDM di layanan primer, mau anda tempatkan pakar kesehatan yang ahli dibidang layanan primer, mau profesor sekalipun tak akan menyelesaikan masalah. Gampang agar anda tahu masalahnya. Dampingi dokter puskesmas dibatas sana selama 3 bulan. Hidup bersama mereka, maka anda tahu masalah mereka. Masalah mereka bukanlah masalah kompetensi.
Jangan melihat puskesmas di kota. Anda tahu siapa yang bertugas disana. Anda lihat fasilitas lengkap. Mereka masih bisa memakai dasi. Tapi anda juga lupa. Berapa ratus pasien yang mereka tangani sehari. Suruh saja seorang pakar kesehatan masyarakat melayani pasien dikota besar. Saya pastikan mereka menyerah.
Anda tuding mereka gampang merujuk pasien. Anda tuduh mereka tak punya kompetensi. Saya khawatir kalau anda disana, begitu melihat pasien ramai di ruang tunggu akan langsung mencret. Lho! Kalau pasien 100 orang saya yakin gak bakal anda periksa. Kalau anda yang jadi dokter puskesmas di kota. Jangan-jangan dari ruang kantor anda akan ngomong, “rujuk semua pasien ke RS!”.
Saya yakin kualitas bapak-bapak dan Ibu-ibu pasti bukanlah seperti mereka yang berobat ke “Ponari”. Mereka lakukan itu karena mereka memang tidak mampu. Apakah bapak dan ibu tidak mampu juga mencari akar masalah pelayanan kesehatan. Terlalu gampang menuding hidung dokter puskesmas sebagai sumber banyaknya rujukan dari puskesmas. Terlalu gampang menyatakan jalan keluarnya adalah kualitas dokter layanan primer rendah sehingga harus ditambah pendidikan mereka. Berhentilah berfikir instan!
Saya berkompetensi menyampaikan ini dan ini bukan cerita. Saya lama bertugas di layanan primer. Puskesmas saya terbuat sebagian dari kayu jelek, atap sangat berkarat. Tetapi jadi juara propinsi 2 kali berturut-turut. Pernah jadi dokter teladan. Puskesmas kami juara propinsi. Tolong jangan berfikir saya mengada-ada.
Hargailah dokter layanan primer. Mereka berbuat sangat banyak untuk Republik ini. Hentikan anggapan mereka penyebab jeleknya kualitas pelayanan kesehatan.
Penulis 7 tahun menjadi dokter Layanan Primer di daerah terpencil dan biasa. Saat ini menjadi ahli bedah umum Sub-Spesialis Bedah Vascular RSCM