Angka kejadian stroke di Indonesia kian meningkat, sebagaimana disebutkan dalam laporan Riset Kesehatan Dasar 2013. Stroke adalah keadaan ketika aliran darah ke otak terhenti secara mendadak, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan otak. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya sumbatan maupun perdarahan di pembuluh darah otak.
Stroke dapat dialami oleh laki-laki maupun perempuan, dan kejadiannya bertambah seiring dengan peningkatan usia. Kebanyakan orang yang mengalami stroke hidup dengan derajat kecacatan yang bervariasi. Otak adalah pusat kendali manusia, termasuk mengendalikan fisik, pikiran, perasaan, hingga perilaku. Terjadinya stroke pada otak dapat membuat seseorang tak lagi mampu berjalan, bicara, atau melakukan aktivitas yang dulu biasa dilakukan. Stroke juga dapat memengaruhi kondisi mental emosional seseorang.
“Suami saya sekarang berubah Dok. Dulu dia orangnya semangat, sekarang malah lesu terus. Males Dok kalau disuruh ngapa-ngapain, nggak mau latihan fisioterapi juga. Udah gitu kalau ada yang ngomong kelepasan dikit, bawaannya nangis terus. Semua berubah setelah suami saya mengalami stroke yang kedua, Dok…”
Cerita demikian mungkin dialami oleh beberapa di antara kita. Rasanya tak mudah merawat anggota keluarga yang mengalami stroke. Selain ketergantungan fisik, ketergantungan emosional juga menjadi masalah. Belum lagi soal emosi tinggi yang menguras kesabaran. Tak jarang keluarga mengatakan “dia jadi orang yang berbeda Dok..” atau “Saya melihatnya menjadi sosok yang memiliki kepribadian lain..”
Gangguan mental tersering yang berhubungan dengan stroke adalah depresi. Depresi pasca stroke ditemui hampir sama banyaknya pada kelompok laki-laki maupun perempuan. Hal ini berbeda dengan gangguan depresi mayor (bukan akibat stroke) yang lebih banyak ditemukan pada perempuan. Hampir 50% orang yang mengalami stroke menunjukkan gejala depresi.
Proses terjadinya depresi pada orang dengan stroke tidak diketahui secara pasti. Stroke yang terjadi di area otak tertentu dianggap memiliki korelasi dengan timbulnya gejala depresi. Hal ini karena stroke akan mengganggu kerja otak, memengaruhi produksi zat kimia (norepinefrin dan/atau serotonin) di otak sehingga jumlahnya menurun. Oleh karena itu, depresi disebut sebagai dampak fisiologis langsung yang terjadi pada otak yang mengalami stroke.
Gambaran utama depresi pasca stroke adalah mood depresi (anhedonia) yang nyata, berlangsung terus menerus, menyebabkan penderitaan serta mengganggu fungsi. Gejala lainnya berupa perasaan sedih, kehilangan minat atau ketertarikan terhadap hal yang dulunya dianggap menyenangkan, mudah menangis, gangguan konsentrasi, hingga memiliki ide bunuh diri. Secara fisik depresi tampak sebagai keluhan mudah lelah, gangguan tidur, dan perubahan nafsu makan. Orang dengan depresi pasca stroke juga biasanya menunjukkan hendaya kognitif sehingga kesulitan mengerjakan aktivitas harian, termasuk berkomunikasi.
Depresi pasca stroke dapat diatasi dengan pemberian obat antidepresan. Hal ini penting mengingat mekanisme terjadinya depresi berkaitan dengan kerusakan otak akibat stroke. Oleh karena itu kita tidak dapat mengharapkan gejala depresi akan menghilang dengan sendirinya. Depresi pasca stroke merupakan akibat langsung dari gangguan di otak sehingga memerlukan tatalaksana medis yang memadai. Kualitas hidup orang stroke yang mengalami depresi dapat ditingkatkan dengan berbagai cara misalnya psikoterapi, hingga terlibat dalam kegiatan sosial dan keagamaan yang sesuai dengan kemampuannya.
“In this life we cannot do great things. We can only do small things with great love.”
Mother Teresa