Author

Dr. Agung Sapta Adi, Sp.An, Presidium DIB (Dokter Indonesia Bersatu)

Angsamerah Articles Elit Dokter atau Dokter Elit

Elit Dokter atau Dokter Elit

Dokter Indonesia Dalam Masa Imperialisme Lama dan Baru

Munculnya Elit Baru Bernama Dokter

Munculnya dokter di Indonesia memang bukan tiba-tiba dan bukan pula murni perjuangan bangsa Indonesia. Harus diakui bahwa dokter Indonesia awalnya dicetak Belanda karena kebutuhan tenaga kesehatan untuk mengatasi wabah penyakit. Walaupun Belanda beralasan menjalankan Politik Etis (pendidikan, pengairan dan perpindahan penduduk) sebagai panggilan moral dan hutang budi kepada bumiputera tetap saja misinya adalah mendukung kolonialisasi. Kebijakan etis di bidang pendidikan melahirkan kelompok elite baru berupa kaum terpelajar, kaum intelektual atau kaum cendikiawan. Elit ini sebenarnya adalah elit lama yang mendapatkan akses pendidikan yang lebih besar dibandingkan kelompok bumiputera lainnya. Secara bertahap dibuka sekolah-sekolah model Barat untuk menyelenggarakan pendidikan ala Barat yang nantinya akan bekerja (sebagian besar) sebagai pegawai pemerintah kolonial, otomatis memiliki otoritas dan kekuasaan yang berharga dan layak dihormati. Sebelumnya Belanda hanya memberikan penghormatan kepada elite lama berdasarkan struktur politik yang berlaku pada masyarakat pribumi yaitu penguasa pribumi: raja, patih, penguasa lokal bupati, wedana, asisten dan lurah.

Perkembangan dari Sekolah Dokter-Djawa kemudian berubah menjadi School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA atau Sekolah untuk Pendidikan Kedokteran Pribumi) pada tahun 1902 dan berdiri pula Nederlandsche-Indische Artssenschool (NIAS atau Sekolah Dokter Hindia Belanda) di Surabaya pada tahun yang sama sebenarnya seiring dengan semakin meluasnya usaha perkebunan swasta di Hindia Timur dimana kesehatan para pekerja menjadi aset penting, sedangkan Dokter Eropa susah didapat dan mahal gajinya. Tuntutan pengusaha (sektor swasta) saat itu disambut baik dan didukung oleh pemerintah kolonial dengan reorganisasi pendidikan termasuk pendidikan dokter. Dampak secara langsung tentunya makin banyak bumiputera yang terdidik secara barat dan semakin terbangunnya kesadaran akan tuntutan-tuntutan persamaan hak dan perbaikan nasib.

Tumbuhnya Kesadaran Kelas

Elite baru bumiputera merasa sebagai kelompok sosial yang setara dengan orang-orang Eropa dalam perkembangannya terdorong untuk melakukan perubahan nasib bangsa yang diawali dengan tumbuhnya kesadaran nasional yang pada akhirnya menjadi gerakan nasionalisme. Dokter pada saat itu merupakan priyayi rendahan di bawah priyayi atas yaitu petugas administrasi pemerintahan seperti bupati atau birokrat lainnya. Tumbuhnya kesadaran kelas ditandai dengan tuntutan priyayi rendahan, terutama guru dan dokter agar priyayi atas memperlakukan mereka sederajat. Terhadap priyayi ningrat, para elit baru ini menuntut untuk diperlakukan tidak lagi sebagai kelas dua dan terhadap Eropa menuntut agar mereka diperlakukan setara terutama dalam penghasilan. Ketidakpuasan yang tercermin dari sikap kritis terhadap kebijakan kolonial berubah menjadi nasionalisme dan sikap anti penjajahan.

Mengapa rasa ketidakpuasan dan sikap anti penjajahan muncul dikalangan dokter sebagai priyayi rendahan? Mereka yang mendapat pendidikan ala barat semisal STOVIA adalah kelas yang memiliki kesempatan untuk memperoleh kebebasan ekonomi yang tidak tergantung kepada pemerintah kolonial. Kebebasan ekonomi bisa diperoleh begitu dokter telah menyelesaikan ikatan dinas dengan pemerintah kolonial yaitu dengan membuka praktek umum sebagai dokter pribumi. Kegagalan kolonial menepati janji perbaikan hidup berdasar prinsip keadilan dan persamaan menjadi bumerang bahkan menjadi awal runtuhnya kolonialisme. Kegagalan priyayi atas memperlakukan dokter secara profesional (karena memperoleh status sosial berdasarkan kualifikasi pendidikan bukan sekedar hadiah) mendorong dokter sebagai elit yang memiliki kesadaran nasional dalam tiga hal: (1). Kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan; (2). Mempersepsikan dan memaknai watak imperialisme yang dipraktekkan kolonial Belanda; (3). Pandangan atas arah dan tujuan yang harus dicapai di masa mendatang.

Keinginan kolonial Belanda dan kaki tangannya yaitu priyayi atas dalam memanfaatkan profesi dokter sebagai priyayi rendahan untuk kepentingan imperialisme ternyata gagal total karena elit dokter yang terbentuk justru lebih banyak berpihak pada rakyat. Walaupun memiliki strata sosial yang lebih tinggi dibanding rakyat jelata tetapi mereka memiliki rasa nasionalisme dan keberanian bersikap. Hal ini sudah terbentuk saat pendidikan dokter STOVIA. Mereka tidak hanya mempelajari ilmu kedokteran saja, tetapi mempelajari banyak ilmu sosial dan politik serta berinteraksi langsung dengan rakyat. Terbukti walaupun banyak yang pemuda yang tidak tamat pendidikan STOVIA semisal Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mereka tetap kritis dan berperan aktif melakukan perubahan kebangsaan. Sebagian yang lain walaupun lulus sebagai dokter mereka tetap memperhatikan masalah lain di luar kesehatan. Lewat tulisan dan organisasi mereka para dokter dan mantan pelajar STOVIA banyak melakukan perubahan.

Dokter Indonesia di tengah Neoimperialisme

Walaupun sudah merdeka 69 tahun, bangsa Indonesia sepertinya belum bisa terbebas dari neoimperialisme, bahkan kita semua tetap nyaman sebagai bangsa terjajah. Berbagai aset termasuk sumber daya alam yang jelas-jelas penguasaan eksplorasi serta pemanfaatannya oleh asing dan kita hanya menjadi konsumen setia atas segala produk yang bahan mentahnya sebenarnya milik kita. Budaya asing yang begitu mudah masuk dalam wilayah keluarga ikut memuluskan proses pembodohan terselubung, kita hanya siap menjadi bangsa yang mengikuti trend bukan menciptakan trend. Tranformasi teknologi yang terbatas merupakan bentuk imperialisme baru dimana tenaga-tenaga ahli kita hanya menjadi “budak” di negeri asing atau sekedar dikontrak perusahaan asing untuk mengerjakan proyek nasional. Nasionalisme kita semua menjadi tidak jelas ketika unsur asing susah terlepas dari segala aspek kehidupan. Secara tidak disadari kita memberikan kontribusi besar atas berkembangnya neoimperialisme.

Dunia kedokteran sebenarnya adalah benteng yang cukup efektif dalam mempertahankan kedaulatan bangsa sekaligus bagian dari sistem ketahanan nasional, setidaknya sejarah pergerakan nasional memberikan pelajaran ketika kolonial Belanda membuka akses pendidikan dokter bumiputera maka yang terjadi adalah senjata makan tuan. Sebaliknya ketika saat ini kita mulai memiliki kemampuan di bidang kedokteran dan sebenarnya sudah dapat melepaskan diri dari ketergantungan asing malah pemerintah tergoda untuk membuka akses asing masuk dalam wilayah kedaulatan kesehatan melalui Konsep Industri Kesehatan yang ditawarkan KADIN (Kamar Dagang dan Industri). Terjadi perubahan mindset dari HEALTH CARE menjadi HEALTH INDUSTRY, sehingga upaya preventif maupun promotif tidak menjadi menarik karena tidak akan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi kapitalis. Ketidakmandirian menyebabkan keuntungan finansial besar kita “sumbangkan” untuk kapitalis asing dari obat, alat kesehatan yang serba canggih dan mahal investasinya serta pelayanan “red carpet” di dalam rumah (negeri) kita. Selain itu ancaman besar atas ketahanan nasional ketika akses yang berpotensi dimanfaatkan asing untuk kepentingan pertahanan militer terbuka begitu mudah.

Dunia pendidikan yang semestinya menjadi ladang pembentukan karakter bangsa sudah tercemar dengan komersialisasi dan budaya hedonis. Pendidikan dokter sekedar mencetak dokter yang mampu memenuhi target kuantitas, dan sekedar siap menjadi agen dari kapitalis dalam menjalankan industri kesehatan. Bagaimana mungkin anak bangsa yang memiliki kemampuan intelektual dapat bersaing masuk FK bila tidak didukung finansial yang kuat. Saat ini sangat jarang anak petani, anak nelayan, anak buruh dan sejenisnya dari sisi kemampuan ekonomi dapat berkuliah di Fakultas Kedokteran. Mahasiswa Kedokteran saat ini sudah terkelompok dalam strata sosial dan ekonomi yang relatif sama hal ini akan menimbulkan dokter yang bermental elit atau saya sebut dokter elit yang lambat laun akan menyebabkan dokter Indonesia tidak mampu “membumi” yaitu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, tidak dapat merespon kebutuhan masyarakat dan pada akhirnya tidak memiliki arah dan tujuan profesionalisme kebangsaan untuk masa depan. Mereka hanya siap di sarana kesehatan yang telah mapan dan menjanjikan kehidupan ekonomi yang lebih baik, padahal saat ini masih banyak daerah yang membutuhkan dokter yang sanggup menjadi pionir dan memiliki struggle for life. Bagaimana mungkin dokter mampu melayani masyarakat bila dokter hanya terdidik untuk dilayani, artinya hanya mampu menjadi pegawai, karyawan dan maaf “buruh” industri kesehatan yang memang sengaja diciptakan kapitalis agar dokter sebagai profesional tergantung dengan sistem yang dibuat. Dokter akhirnya hanya bisa pasrah menerima sistem padahal perubahan harus diawali dari kesadaran internal sebagaimana tumbuhnya kesadaran kelas di era STOVIA.

Ancaman terhadap kedaulatan kesehatan dan pemanfaatan dokter untuk kepentingan neoimperialisme bukanlah fatamorgana di negeri ini. Perlu upaya bersama untuk membangkitkan kesadaran hal ini terutama oleh internal profesi dokter. Bahwa dokter-dokter pendahulu merupakan perintis bangsa, mereka menjadikan profesi ini bukan sekedar mata pencaharian namun sudah menjadi alat perjuangan. Bahkan elit dokter yang terbentuk berhasil merakyat, mengambil peran bersama rakyat untuk negeri ini.

Sungguh ironis ketika kolonial Belanda gagal memanfaatkan elit dokter untuk kepentingan imperialisme, justru saat ini pemerintahan berdaulat hanya bisa mencetak dokter elit, menjauhkan dokter dari cita-cita luhurnya dan pada akhirnya kesehatan hanya bermanfaat untuk kepentingan politis dan kapitalis.

Artikel Terkait

HIV dan Nutrisi

Mengenal Infeksi Menular Seksual

Demam, Gejala atau Penyakit?

Infeksi Herpes Genital Itu….

Limfosit CD4 dan Perannya pada Infeksi HIV

Seks, Seksual dan Seksualitas

Sebelumnya
Selanjutnya

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.