Di tahun-tahun awal epidemi Human Immunodefiecieny Virus (HIV), sedikit pasien meninggal karena masalah hati. Hal ini disebabkan pasien meninggal karena infeksi lainnya sebelum berkembang menjadi penyakit liver tahap akhir. Kebanyakan kematian terkait penyakit hati pada pasien HIV positif terjadi pada pasien dengan infeksi virus hepatitis C virus (VHC). Laporan Penelitian Serologi Penelitian Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan bahwa proporsi Hepatitis C pada populasi orang dewasa di Indonesia adalah 1,1% dari total populasi. Total populasi Indonesia per 2017 adalah 264 juta orang. Ini berarti hampir 3 juta orang diperkirakan terinfeksi VHC di Indonesia.
Kesamaan pola penularan HCV menyebabkan prevalensi koinfeksi VHC-HIV tinggi berkisar 52,3% hingga 67,9%. Penularan HCV bisa terjadi secara horizontal dan vertikal. Penularan horizontal terjadi pada pengguna napza suntik (penasun), transfusi darah, hemodialisis jangka panjang, pernah tato dan tindik, laki-laki seks laki-laki (LSL) dan pada tenaga kesehatan. Untuk penularan vertikal dari ibu ke bayi dengan koinfeksi VHC-HIV, angkanya meningkat hingga 19.4%.
Pasien yang dicurigai berisiko tinggi tertular HCV di atas pertama-tama dilakukan tes antibodi-VHC (anti-VHC) dengan menggunakan tes cepat. Tes cepat ini bisa didapatkan di Puskesmas Kecamatan di DKI, klinik swasta ataupun rumah sakit (RS). Jika hasil tes Anti-VHC positif maka perlu dilanjutkan pemeriksaan jumlah virus / viral load VHC (VL VHC). Jika hasil tes VL VHC terdeteksi maka pasien ini perlu diobati. Sebelum diobati, pasien perlu dilakukan pemeriksaan lain terutama terkait fibrosis untuk menentukan lama pengobatan.
Di era pengobatan baru VHC yaitu dengan obat oral direct acting antiviral (DAA) maka pengobatan hanya berlangsung 12-24 minggu dengan tingkat kesembuhan yang tinggi yaitu 95 – 100%. Pasien mendapatkan minimal 2 macam obat, dan efek samping yang dialami sangat minimal. Oleh karena DAA sangat menjanjikan, maka badan kesehatan dunia (WHO) berencana mengeliminasi penyakit Hepatitis di 2030.