Titik balik kehidupan Nurlan terjadi ketika keluarga besar mereka makan malam Natal bersama.
Tak pernah terlintas dalam benak Nurlan bahwa satu hari kelak ia akan menjadi dokter. Cita-citanya sejak kecil justru ingin menjadi duta besar (dubes). Tapi, jalan kehidupannya ternyata berkata lain.
“Saya terlahir dari keluarga Batak yang cuma punya anak perempuan. Di Batak, anak laki-laki dianggap nilainya lebih daripada anak perempuan. Jadi, bapak saya ingin menunjukkan walau punya anak perempuan itu bisa as good as anak laki-laki. Meski bapak saya tidak punya pendidikan tinggi, ia ingin anaknya jadi dokter karena waktu itu kan dokter kesannya cool banget,” ujar Nurlan, yang terlahir dari keluarga sederhana. Ayahnya tidak lulus SD, bekerja sebagai tentara, sedangkan ibunya tidak lulus SMP. Meski tidak berpendidikan tinggi, sang ayah sangat memperhatikan pendidikan kedua anak perempuannya. Demi menjadikan putri sulungnya sebagai dokter, sang ayah berinisiatif mengisikan formulir pendaftaran ke FK UKI. Padahal, pada saat yang sama, Nurlan sudah mendaftar dan kemudian diterima di sebuah universitas lain untuk mewujudkan cita-citanya menjadi dubes.
Nurlan tak berani bermimpi muluk-muluk bakal diterima di FK. Apalagi biaya masuk FK UKI saat itu cukup mahal, Rp 5 juta, sedangkan mereka hanya mempunyai uang Rp 500.000. Belum lagi harus membayar biaya semester yang cukup tinggi. Sang ayah pun memutuskan pensiun dini dari TNI dan bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik di Tangerang. Hal ini dilakukan agar mendapatkan uang untuk membiayai kuliah putrinya.Saat pengumuman penerimaan mahasiswa FK UKI, nama Nurlan tidak tercantum dalam daftar gelombang pertama. Ayah Nurlan tak habis akal dan masuk ke dalam kantor administrasi kampus. “Entah bicara apa ayah saya di dalam, tiba-tiba nama saya ditambahkan di situ, ditulis dengan pensil. Kami pun cuma harus membayar Rp 500.000,” kenang Nurlan sembari terbahak.Meski sudah diterima di FK, Nurlan tetap tidak termotivasi menjadi dokter. Saat itu ia hanya asal lulus. Sikapnya baru sedikit berubah ketika menjalani masa ko-as. Saat melihat begitu banyak pasien yang harus diperiksanya, hatinya luluh dan bertekad untuk melakukan yang terbaik bagi para pasiennya.Namun ketika lulus, lagi-lagi keinginan Nurlan untuk menjadi dokter menguap. Ia tidak mau bekerja sebagai dokter dan malah mengambil kursus bahasa Jerman. Keinginannya menjadi dubes kembali menggebu.
Titik balik kehidupan Nurlan terjadi ketika keluarga besar mereka makan malam Natal bersama. Saat itu, seorang paman Nurlan tiba-tiba tersedak. Sebagai lulusan dokter, Nurlan segera menolong sang paman. Dua kali mencoba, tak berhasil. Dalam hati Nurlan berdoa, “Ya Tuhan, jika paman saya berhasil saya tolong, saya berjanji akan menjadi dokter.”
Doa Nurlan manjur. Sang paman berhasil diselamatkannya. “Padahal saya hanya belajar dari adegan di film, bukan karena teori yang saya pelajari saat kuliah,” sahut Nurlan kembali terkekeh.
Sejak saat itu, Nurlan pun menjadi dokter. Sejumlah pekerjaan dilakoninya, mulai dari menjadi periset Namru-2, hingga dokter puskesmas di Timika dan Kwamki Lama, Papua selama tiga tahun.
Hingga akhirnya tahun 2001, ia melanjutkan studi masternya di Sydney University, Australia dengan beasiswa Ford Foundation. Kisah beasiswanya ini juga unik. Lagi-lagi Nurlan ingin tampil beda. Alih-alih kuliah di Negeri Paman Sam, Nurlan meminta pengecualian agar bisa kuliah di Negeri Kanguru saja.
“Soalnya saya sudah punya banyak teman dari Amerika. Saya ingin yang beda, ke Australia saja karena jaraknya juga dekat dengan Indonesia,” ucapnya.