Menanggulangi Epidemi di tengah Pandemi

Realita Kasus HIV & AIDS di Indonesia

Harus diakui bahwa realisasi penanggulangan epidemi HIV & AIDS di Indonesia masih jauh dari target untuk bisa menghentikan AIDS pada tahun 2030. Apalagi saat ini semua orang sedang berkonsentrasi pada persoalan pandemi Covid-19, hingga penanggulangan epidemi HIV & AIDS menjadi terbengkalai dan seolah terlupakan begitu saja. Bapak Presiden Joko Widodo sendiri telah memberikan arahan dalam Rapat Kabinet tanggal 29 Mei 2020 (untuk pemulihan ekonomi nasional dampak Covid-19) bahwa penanggulangan penyakit menular adalah salah satu agenda besar yang harus segera diselesaikan, di mana salah satunya adalah penurunan angka HIV & AIDS.

Dalam Webinar Kompas Talks bertajuk “Akankah Indonesia Menghentikan AIDS pada Tahun 2030? hari Rabu, 23 Juni 2021, masyarakat diingatkan kembali mengenai urgensi epidemi HIV & AIDS. Webinar ini diselenggarakan oleh Harian Kompas, bekerjasama dengan USAID, UNAIDS dan Jaringan Indonesia Positif, juga dihadiri oleh sejumlah narasumber seperti Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu (Plt. Dirjen P2P Kemenkes RI), Bapak Abetnego Panca Putra T. (Deputi II Kepala Staff Kepresidenan), Ibu Nafsiah Mboi (Aktivis Advokasi HIV & AIDS), dan Meirinda Sebayang (Ketua Jaringan Indonesia Positif).

Kita semua pasti tahu bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati, jadi perlu diingat lagi bahwa upaya menghentikan HIV & AIDS tidak hanya terfokus pada penanganan saja, tetapi segala bentuk usaha untuk mencegah penularan juga harus dilakukan dan digencarkan demi terwujudnya zero new infection (target Three Zeroes: Zero New Infection, Zero AIDS-Related Death, Zero Discrimination). Jadi, sejauh mana perkembangan penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia? Bagaimana realita yang terjadi di lapangan? Apa saja yang dapat dilakukan untuk menanggulangi epidemi HIV & AIDS di tengah pandemi Covid-19?

Menurut Pak Abetnego, target RPJMN 2020 – 2024 adalah menurunkan tingkat insidensi infeksi HIV dari 0,24/1000 penduduk di tahun 2018 menjadi 0,18 /1000 di tahun 2024. Untuk mewujudkannya, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan, yaitu penguatan pelayanan sosial bagi ODHA, meningkatkan pelayanan kesehatan dasar dengan memberikan perhatian khusus pada penyakit menular diantaranya HIV & AIDS, serta meningkatkan kualitas anak, perempuan dan pemuda melalui pencegahan penyebaran HIV & AIDS dan penyakit menular seksual. Semua ini dinaungi oleh Permenkes No. 21 Tahun 2013 tentang penanggulangan HIV & AIDS yang menjadi payung hukum untuk penurunan angka infeksi HIV & AIDS serta jaminan peningkatan kualitas hidup dan hak hidup dari ODHA.

Lalu, bagaimana dengan perlindungan hak-hak masyarakat yang rentan terkena HIV & AIDS? Hal ini menyangkut pada isu stigma dan diskriminasi yang masih beredar bagi populasi kunci yang rentan terkena HIV & AIDS seperti pekerja seks, pengguna narkoba suntik (Penasun) dan komunitas LGBT. Untuk bisa menghapus stigma dan diskriminasi, pemerintah harus memberikan perlindungan hak terhadap populasi kunci. Karena jika pelayanan kesehatan dapat terlaksana dengan baik, kasus infeksi baru dapat tercegah.

Realita yang ada di lapangan, banyak hak-hak ODHA serta populasi kunci yang terbengkalai dan tidak dapat terpenuhi. Ibu Nafsiah dan Meirinda Sebayang memaparkan sejumlah poin yang membuka mata kita bersama bahwa isu HIV & AIDS bukan sekadar isu kesehatan, tapi juga bersinggungan dengan area sosial dan hukum. Poin-poin tersebut antara lain:

  1. Sebagian besar ODHA mengaku sulit mendapatkan pelayanan kesehatan gigi karena para dokter gigi yang takut melayani ODHA. Oleh karena itu, ODHA berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan yang terintegrasi.
  2. Masih banyak anak-anak dengan HIV & AIDS yang harus putus sekolah sehingga hak untuk mendapatkan akses pendidikan tidak terpenuhi.
  3. Sampai sekarang, sebagian besar anak-anak dengan HIV & AIDS terpaksa mengkonsumsi paket obat-obatan orang dewasa yang digerus untuk menyesuaikan dosis dan kebutuhan sang anak.
  4. Populasi kuci yang rentan terkena HIV & AIDS masih sering mendapatkan diskriminasi dan stigma dari tenaga kesehatan yang menyebabkan mereka enggan untuk melakukan pemeriksaan.
  5. Stigma dan diskriminasi verbal terhadap ODHA perempuan dan anak muda di tengah masyarakat masih terjadi.

Ketua JIP, Meirinda Sebayang mengibaratkan penanganan kasus HIV & AIDS di Indonesia seperti sebuah rumah, di mana semua unsur yang dibutuhkan sudah ada. Mulai dari strategi dan kebijakan pemerintah sebagai pilar, pemenuhan akses pemeriksaan dan pengobatan sebagai atap, sampai dengan upaya monitoring dan evaluasi sebagai fondasinya. Meskipun demikian, seperti ada awan mendung di atas rumah yang akan menjadi badai dan hendak menghancurkan rumah tersebut, yaitu stigma dan diskriminasi masyarakat.

Menjawab persoalan stigma dan diskriminasi, dr. Maxi menjelaskan bahwa hal yang paling mendasar adalah edukasi sedini mungkin pada anak-anak dan remaja perihal HIV & AIDS melalui kurikulum di tingkat sekolah yang mengenalkan mereka kepada HIV & AIDS. Selanjutnya melalui lembaga keagamaan, para tokoh agama dapat menyampaikan pesan dalam teks-teks khotbah atau ceramah yang dapat menumbuhkan rasa toleransi. Lalu tak kalah penting, peran lembaga media informasi yang diharapkan untuk tidak memprovokasi berita-berita terkait HIV & AIDS agar bisa menghilangkan stigma di masyarakat, karena stigma dan diskriminasi inilah yang cenderung membuat populasi kunci enggan untuk melakukan pemeriksaan HIV & AIDS.

Idealnya, pemeriksaan HIV & AIDS harus bersamaan dengan pelaksanaan konseling, karena konseling sangat penting untuk merubah perilaku serta melindungi sesama dan diri sendiri. Dalam memberikan pelayanan konseling pun tidak mudah untuk bisa mendapatkan kepercayaan dari ODHA maupun populasi kunci, karena itu pemerintah bisa bekerjasama dengan organisasi masyarkat sipil atau komunitas peduli HAM dan memberikan bantuan sumber dana untuk mengadakan pelatihan sumber daya yang berkualitas.

Guna memudahkan penemuan kasus HIV & AIDS, Ibu Nafsiah menyarakan adanya integrasi pemeriksaan. Misalnya pada ibu hamil, dapat sekaligus disertakan dengan pemeriksaan HIV & AIDS, Sifilis, dan penyakit menular lainnya. Jika sudah ditemukan kasus positif, maka salah satu tugas konselor adalah membimbing ODHA untuk segera melakukan pengobatan. Saat ini, pemerintah sedang berfokus untuk memastikan ketersediaan infrastruktur pelayanan HIV & AIDS di Fasyankes, terutama ketersediaan test kit diagnostic dan obat-obatan yang sesuai, baik secara kualitas yang baik juga kuantitas yang cukup.

Pemerintah juga akan terus melakukan upaya perbaikan, mulai dari perencanaan dan penganggaran, pemerataan distribusi kebutuhan ke daerah-daerah yang sulit diakses secara logistik, juga memperkuat monitoring & evaluasi lintas kementerian/lembaga secara berkala, sehingga dapat menyelesaikan hambatan-hambatan yang ada tanpa terbebani dengan biaya yang signifikan.

Selama pandemi Covid-19 masih berlangsung, prioritas nasional seperti pemberantasan HIV & AIDS tidak mungkin berjalan optimal. Namun demikian, pemerintah menjadi lebih banyak belajar melakukan transformasi digital untuk pengelolaan data dan aplikasi kesehatan demi adanya transparansi data serta memudahkan akses informasi kesehatan. Pandemi Covid-19 pun akhirnya memaksa kita semua untuk bergerak lebih cepat dan agresif dalam menangani permasalahan ini.

Baca juga strategi pemerintah dalam penanggulanan HIV & AIDS hingga tahun 2030…

Angsamerah sendiri sebagai yayasan, institusi dan klinik kesehatan siap untuk bekerjasama dengan berbagai pihak dalam memberikan pelayanan kesehatan yang optimal, berkualitas, ramah, dan tanpa stigma pada masyarakat. Mari, kita gunakan waktu sembilan tahun ke depan untuk bekerjasama menghentikan HIV & AIDS!

Rekaman webinar Kompas Talks: “Akankah Indonesia Menghentikan AIDS pada Tahun 2030?

Artikel Terkait

HIV dan Nutrisi

A “Heart” Disease

Now Available

PrEP di Angsamerah

Mengapa ibu hamil perlu tes HIV?

Sharing Without Borders

Angsamerah Provides Education and Healthcare to Refugees

Suara harapan komunitas pada penyedia layanan kesehatan oleh Setia Perdana

Previous
Next

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.