Mendengarkan Tubuh: Perjalanan Kirana Menuju Pemahaman Diri

Keheningan apartemen Kirana hanya dipecahkan oleh dengungan ponsel dan sesekali bunyi notifikasi pesan dari keluarga di Indonesia. Di usia 24 tahun, menjalani program magister di negeri orang, Kirana tidak hanya menghadapi tantangan akademis tapi juga pergumulan personal yang mendalam.

Tar, kangen banget sama rumah☹️,” ketiknya kepada Tara, sahabat baiknya. Kata-kata itu rasanya tidak cukup buat mengungkapkan kekosongan aneh yang tumbuh dalam dirinya. Ini bukan sekadar rindu kampung halaman; Ada sesuatu yang lebih kompleks, topik yang jarang punya ruang untuk dibicarakan di lingkungan asalnya.

Kirana menatap aplikasi kencan di ponselnya. Ia mengunduhnya tiga minggu lalu tetapi belum berani membuat profil. Di Indonesia, ia dibesarkan dengan pesan-pesan jelas tentang seksualitas: “jangan” dan “nanti setelah menikah”. Topik ini selalu diselimuti keheningan, dibungkus peringatan, dan nggak pernah dibahas secara terbuka.

Tapi di sini, ribuan kilometer dari pengawasan keluarga dan komunitas, Kirana menemukan dirinya berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini diredam: Kapan sih waktu yang tepat untuk mulai hubungan romantis yang lebih dalam? Gimana caranya tahu kalau aku udah siap? Apa artinya memiliki ketertarikan pada seseorang?

Ponsel berbunyi dengan balasan Tara: “Coba ngedate aja, Kir! Bisa bantu ngatasin kesepian nggak sih? Lumayan kan ada temen jalan, hehe.”

Kirana tersenyum. Tara memang selalu lebih berani. Namun saran itu menanam benih pemikiran. Mungkin bukan hanya pertumbuhan akademis yang ia butuhkan di negeri asing ini.

Dua bulan kemudian, Kirana duduk berhadapan dengan Elias, sesama mahasiswa internasional dengan mata ramah dan tawa yang menyenangkan. Kencan ketiga mereka berjalan lancar, obrolan mengalir alami saat mereka berbagi cerita di sebuah kafe kecil dekat kampus.

“I’ve really enjoyed getting to know you,” kata Elias, matanya menatap Kirana lebih lama dari biasanya.

Kirana merasakan getaran familiar di perutnya, kehangatan menyebar ke seluruh tubuhnya. Apakah ini gairah? Hasrat? Atau hanya kegugupan? Seminar biologi yang ia hadiri minggu lalu tiba-tiba muncul dalam benaknya. Profesor menjelaskan bagaimana tubuh perempuan merespons ketertarikan, bagaimana hormon seperti estrogen dan testosteron memengaruhi libido, bagaimana oksitosin menciptakan perasaan keterikatan setelah kedekatan fisik.

“I’ve enjoyed it too,” jawabnya dengan suara lembut. Ketika Elias meraih tangannya, Kirana tidak menarik diri. Tubuhnya seolah tahu apa yang diinginkannya, tetapi pikirannya dipenuhi pesan-pesan yang bertentangan.

Malam itu, sendirian di apartemennya, Kirana menemukan dirinya melakukan penelitian. Bukan makalah akademis yang harus dikumpulkan minggu depan, tetapi artikel tentang fisiologi perempuan. Ia belajar bahwa apa yang ia alami memiliki nama dan penjelasan:

Pertama, ada perbedaan jelas antara “arousal” (respons fisik tubuh) dan “desire” (kesiapan mental dan emosional). Tubuh bisa aja terangsang secara fisik tapi mental belum tentu siap. Hal ini lumrah dan ialami banyak perempuan.

Kedua, hormon-hormon dalam tubuh perempuan berfluktuasi sepanjang siklus menstruasi. Selama fase folikuler (sekitar hari ke-6 sampai ke-13 setelah menstruasi), kadar estrogen meningkat. Banyak perempuan merasakan peningkatan energi dan gairah menjelang ovulasi. Di sekitar ovulasi (pertengahan siklus), lonjakan hormon LH melepaskan sel telur, dan baik estrogen maupun testosteron berada di level tertinggi. Puncak hormonal ini sering membuat perempuan merasa lebih bergairah. Hal ini merupakan cara alami tubuh untuk memaksimalkan peluang pembuahan.

Yang paling menarik adalah pemahaman tentang “hasrat responsif” –bahwa bagi sebagian besar perempuan, termasuk dirinya, hasrat seringkali tidak muncul secara spontan tapi terbentuk sebagai respons terhadap stimulasi dan konteks yang tepat. Ini bukan sesuatu yang aneh; ini memang cara alami tubuh perempuan bekerja.

Pantesan…”  bisik Kirana pada dirinya sendiri, memikirkan saat-saat di masa lalu ketika ia merasa bingung dengan respons tubuhnya sendiri. Ada kalanya seorang teman lelaki di kampung halaman memegang tangannya atau menciumnya, dan ia merasakan gejolak fisik tetapi ketidakpastian emosional. Ia selalu menyalahkan dirinya atas kebingungan itu, tidak pernah memahami bahwa ketidakselarasan ini umum dan valid.

Seminggu kemuian, Elias mengundang Kirana ke apartemennya untuk memasak bersama. Implikasi tergantung di udara di antara mereka. Mereka tahu, ini lebih dari sekadar makan malam biasa. Saat bersiap malam itu, Kirana merasakan gejolak ketertarikan fisik yang familiar, tetapi juga ketidakpastian

Berdiri di depan cermin kamar mandi, ia berbicara pada dirinya sendiri, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan setahun lalu: “Hanya karena tubuhku merespons bukan berarti aku harus bertindak sesuai respons itu. Gairah fisik tidak sama dengan kesiapan emosional.”

Kirana ingat tentang oksitosin; hormon yang dilepaskan saat orgasme dan sangat kuat membangun ikatan emosional. Penelitian menunjukkan bahwa pada perempuan, kadar oksitosin yang tinggi ini bisa “mengelabui” otak untuk jatuh cinta pada pasangan seksualnya. Sebuah frasa terngiang di kepala: “bercinta menyebabkan cinta.”

Ia juga teringat penjelasan profesor tentang dopamin, “kimia kesenangan” yang dapat mebuat seseorang terobsesi dan mengambil keputusan berisiko, seperti mengorbankan kepentingan pribadi demi pasangan. Kombinasi oksitosin dan dopamin ini telah dan akan membuat perempuan kehilangan objektivitas dan rasionalitas setelah berhubungan intim.

“Ada tiga alasan kuat kenapa aku perlu berhati-hati,” Kirana merenung:

  1. Risiko keterikatan emosional sepihak – Oksitosin dapat membuatku terikat secara emosional padahal belum tentu dirinya merasakan hal yang sama. Ini bisa membuatku sakit hati kalau ternyata hubungan nggak berlanjut.
  2. Risiko kehilangan objektivitas – Dopamin dan oksitosin bisa membuatku aku ngabaikan red-flags dan terjebak dalam hubungan yang sebenernya nggak sehat.
  3. Ketidaksiapan menghadapi konsekuensi – Aku belum siap menghadapi risiko seperti kehamilan tidak direncanakan atau infeksi menular seksual, terlebih di negara asing dengan sistem kesehatan yang belum aku pahami sepenuhnya.

“Aku perlu jujur sama diriku sendiri,” gumam Kirana. “Apa aku beneran siap buat ikatan seperti itu? Atau aku cuma kesepian dan pengen ngerasa dekat sama seseorang?”

Malam itu, ketika makan malam selesai dan Elias bergeser mendekat di sofa, Kirana menarik napas dalam-dalam.

I like you,” ujarnya sederhana. “And I’m attracted to you. But I’m still figuring out what I want and what I’m ready for.”

Alih-alih kekecewaan, ia melihat rasa hormat terpancar di mata Elias. “I appreciate your honesty,” ujarnya. “There’s no rush.”

Kelegaan yang dirasakan Kirana menegaskan bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat untuk dirinya sendiri. Ini bukan lagi tentang moralitas atau aturan budaya, ini tentang mendengarkan tubuh dan emosinya, dan mengenali ketika keduanya tidak selaras.

Seiring waktu, Kirana terus mengedukasi dirinya –sesuatu yang nggak pernah tidak didapatkannya di sekolah atau dari orang tua. Ia belajar tentang anatomi reproduksi perempuan secara detail, termasuk struktur klitoris yang ternyata sangat kompleks.

Lewat aplikasi pelacak siklus, ia mulai memperhatikan pola hasratnya sendiri. Memang benar, di sekitar ovulasi, ia lebih sering merasa bergairah dan tertarik, tepat seperti yang dijelaskan dalam artikel-artikel ilmiah. Dan menjelang menstruasi, dalam fase luteal ketika progesteron mendominasi, hasratnya menurun drastis. Ini bukan sesuatu yang salah; ini hanyalah ritme alami tubuhnya.

Ia juga belajar soal dampak kontrasepsi hormonal terhadap suasana hati dan libido. Sekitar 15% pengguna pil KB mengalami penurunan hasrat seksual, sementara sekitar 85% melaporkan hasrat yang tetap sama atau bahkan meningkat. Beberapa penelitian bahkan mengaitkan penggunaan kontrasepsi hormonal pada remaja dengan risiko depresi yang lebih tinggi. Informasi ini mengingatkannya pada beberapa teman di Indonesia yang mengeluhkan efek samping kontrasepsi tapi nggak pernah benar-benar paham penyebabnya.

Seiring berjalannya waktu, Kirana dan Elias terus menjalin hubungan yang saling menghormati, selalu berkomunikasi terbuka tentang batasan dan keinginan masing-masing. Ketika mereka memutuskan untuk lebih dekat dalam hubungan, pilihan tersebut dibuat dengan pengetahuan dan kesiapan yang tulus. Kirana bersikeras pada nilai-nilai dan batasannya sendiri, memahami baik risiko fisik maupun implikasi emosional dari setiap keputusan mereka.

Hubungan mereka berkembang dengan kedewasaan dan kesadaran: Berdasarkan persetujuan, kepedulian, dan penghormatan yang mendalam. Kirana memahami dengan jelas mengapa emosi dan keputusannya begitu terkait. Ini bukan kelemahan atau ketergantungan; ini adalah biologi, hormon kuat yang telah berevolusi untuk menciptakan ikatan antara pasangan.

What are you thinking about?” tanya Elias suatu hari, saat mereka duduk bersantai setelah menonton film.

I’m thinking about how amazing it is that our bodies know things our minds are still learning,” Kirana menjawab. “And how empowering it is to understand that.

Beberapa minggu kemuian, Kirana menerima chat dari Tara: “Gimana kabarnya sama cowok yang lo ceritain itu? Udah jaian belom? 😉”

Kirana tersenyum, ia tidak yakin gimana caranya menyederhanakan semua yang telah dipelajarinya dalam satu pesan singkat. Bagaimana caranya menjelaskan kalau apa yang awalnya hanya ketertarikan romantis udah berubah jadi perjalanan menemukan diri? Bahwa ia sudah belajar membedakan antara tiga jenis hasrat: Spontan, responsif, dan kontekstual, serta mengenali dirinya terutama pada dua yang terakhir? Bahwa ia sekarang paham kenapa kadang ia merasa tertekan untuk bilang “iya” padahal tubuhnya bilang “belum siap”?

Ada empat pelajaran utama yang ingin ia bagikan dengan Tara dan teman-teman perempuan lainnya:

  1. Perbedaan antara tubuh terangsang vs. emosi siap – Tubuh bisa terangsang karena sentuhan atau rangsangan lain, tapi itu nggak berarti mental dan emosi udah siap. Perempuan perlu mengenali kedua aspek ini sebelum membuat keputusan.
  2. Perempuan punya “jendela reseptivitas” alami – Siklus menstruasi menciptakan waktu-waktu dimana hasrat secara alami meningkat (sekitar ovulasi) dan menurun (fase luteal). Memahami pola ini membantu perempuan lebih mengenal diri dan menghindari self-judgment.
  3. Oksitosin: pedang bermata dua – Hormon yang dilepaskan saat orgasme ini menciptakan ikatan emosional kuat. Ini indah dalam hubungan yang sehat, tapi bisa jadi masalah jika membuat perempuan terikat pada pasangan yang tidak layak atau tidak berkomitmen.
  4. Keputusan terbaik dibuat saat kepala dan hati selaras – Memahami biologi bukan untuk menolak hasrat, tapi untuk memastikan keputusan dibuat dengan kesadaran penuh, bukan hanya dorongan hormonal sesaat.

“Baik-baik aja kok,” akhirnya Kirana membalas pesan Tara. “Gue belajar banyak banget tentang diri sendiri.” Lalu, setelah ragu sejenak: “Pas gue pulang nanti, kita ngobrol lebih banyak ya. Ada banyak hal tentang tubuh dan perasaan kita yang nggak pernah kita pelajarin padahal mestinya kita tahu.”

Saat Kirana menutup laptopnya, ia merasakan rasa kepemilikan yang mendalam atas dirinya yang melampaui baik pesan-pesan konservatif dari masa kecilnya maupun sikap yang kadang terlalu kasual yang ia amati di lingkungan barunya. Ia telah menemukan jalannya sendiri, yang diinformasikan oleh biologi tubuhnya tetapi dipandu oleh nilai-nilai personal dan kesejahteraan emosional.

Waktu yang tepat untuk membuat keputusan tentang hubungan intim, yang sekarang ia pahami, bukanlah tentang usia atau status hubungan atau aturan budaya. Ini tentang keselarasan tubuh dan emosi, tentang membuat pilihan sadar berdasarkan pengetahuan diri daripada tekanan eksternal. Ini tentang mengenali bahwa biologi perempuan itu kuat tetapi tidak deterministik—bahwa memahami pola hormonal dan respons neurokimia justru memberi lebih banyak agensi, bukan kurang.

Kirana tersenyum pada dirinya sendiri. Ini bukan pendidikan yang ia harapkan di luar negeri, tetapi mungkin ini pelajaran paling berharga: belajar mendengarkan tubuhnya dengan pemahaman ilmiah dan kebijaksanaan emosional, dan membuat pilihan yang menghormati keduanya.

Pernahkah kamu berkata “iya” padahal tubuhmu bilang “belum siap”?

Artikel Terkait

A “Heart” Disease

Dan Aku pun bisa tegar

Sexual Abuse: A Survivor Story

Hakikat Cinta

Anaia Belajar Jatuh Cinta

Sebelumnya
Selanjutnya

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.