Pada bulan Oktober 2021 lalu, media sempat memberitakan tentang pengamen jalanan yang memamerkan alat vitalnya pada seorang perempuan di dekat stasiun Sudirman di suatu sore. Ketika membaca berita ini pun, saya langsung teringat pada ekshibisionisme. Ekshibisionisme bukanlah hal yang baru terjadi, bahkan mungkin Sahabat pernah menjadi korban perilaku ekshibisionisme. Singkatnya, kondisi ini dianggap sebagai gangguan yang ditandai oleh dorongan, fantasi, atau tindakan mengekspos alat kelamin seseorang kepada orang lain yang tidak menyetujui, terutama kepada orang asing.
Ekshibisionisme sebenarnya adalah sebuah gangguan parafilik yang mengacu pada pola gairah seksual yang tidak biasa, namun persisten dan intens, disertai dengan penderitaan atau gangguan yang signifikan secara klinis. Selain memamerkan alat kelamin pada orang yang tidak dikenal, pelaku ekshibisionis juga mungkin mempertontonkan aktivitas seksualnya kepada orang lain.
Meskipun angka kejadiannya masih tidak diketahui secara pasti, pelaku ekshibisionisme hampir selalu laki-laki dengan persentase 2% – 4% dari populasi. Sementara itu, untuk pelaku ekshibisionisme perempuan sangat jarang ditemukan dan estimasi besarnya juga tidak diketahui. Korban dari pelaku ekshibisionisme biasanya beragam, misalnya para pelaku memiliki preferensi untuk menunjukkan alat kelamin kepada anak-anak praremaja, orang dewasa, atau keduanya.
Kira-kira apa saja yang bisa menyebabkan seseorang memiliki gangguan ekshibisionisme?
Berkembangnya gangguan ekshibisionistik pada laki-laki bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain seperti gangguan kepribadian antisosial, penggunaan alkohol, dan mereka yang mempunyai kecenderungan pedofilia, kekerasan seksual serta emosional semasa kecil. Beberapa dari mereka juga mempunyai gangguan parafilia, dan bisa dianggap sebagai hiperseksual. Akibatnya, beberapa tindakan ekshibisionisme dapat berlanjut menjadi tindak perkosaan atau kriminal lainnya.
Dalam DSM-5, seseorang bisa dikategorikan sebagai pelaku ekshibisionis jika memiliki kriteria berikut ini:
- Selama periode setidaknya enam bulan, seseorang memiliki fantasi, perilaku, atau dorongan seksual yang berulang dan intens yang mempertontonkan alat kelamin kepada orang yang tidak menaruh curiga.
- Orang tersebut telah bertindak berdasarkan dorongan seksual ini dengan orang yang tidak menghendakinya, atau jika dorongan atau fantasi tersebut menyebabkan penderitaan yang nyata, bahkan kesulitan interpersonal di tempat kerja atau dalam situasi sosial sehari-hari.
Apakah gangguan perilaku ekshibisionisme ini bisa diobati?
Ya! dan sangat disarankan untuk diatasi sedini mungkin. Kebanyakan orang dengan gangguan eksibisionistik tidak mencari pengobatan sendiri, dan tidak menerima pengobatan sampai mereka tertangkap dan diwajibkan oleh pihak berwenang.
Individu yang sebelumnya normal terkadang beralih ke eksibisionisme setelah mengalami trauma mental yang parah atau kehilangan jati diri. Namun, eksibisionis kronis cenderung memiliki gangguan kepribadian yang serius. Oleh karena itu, perlu adanya perawatan khusus untuk eksibisionisme, biasanya mencakup psikoterapi dan pengobatan.
Pertanyaan selanjutnya bagi kita adalah:
Bagaimana jika kita berhadapan dengan seorang pelaku ekshibisionis yang sedang “beraksi”?
Apa yang harus dilakukan?
Pelaku ekshibisionis memperoleh kepuasan dari reaksi jijik atau takut dari korbannya, tetapi reaksi ini tidak selalu diperlukan untuk medapatkan rasa senangnya.
Hal yang bisa kita lakukan saat dihadapkan dengan situasi ini adalah berusaha untuk bersikap tenang dan jangan hiraukan pelaku. Berjalanlah ke tempat yang lebih ramai dan terang agar kita bisa merasa lebih aman.