Dokter yang bekerja di fasilitas layanan primer, baik berupa puskesmas atau klinik pratama disebut sebagai dokter layanan primer. Sesuai definisinya, dokter layanan primer ini bisa berupa dokter umum, dokter penyakit dalam, dokter spesialis anak, atau dokter obsetri dan ginekologi. Karena jumlah dokter spesialis di Indonesia masih terbatas, maka biasanya dokter layanan primer adalah dokter umum.
Untuk bekerja sebagai dokter umum, yang kemudian disebut dengan istilah praktik, maka seseorang perlu menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran selama 4 tahun. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan profesi dokter selama 1,5-2 tahun. Belum selesai sampai di sini, karena lulusan dokter umum perlu menempuh periode cari pengalaman/internship/magang selama 1 tahun. Di antara masa-masa tersebut seringkali ada jeda untuk menunggu penempatan. Total waktu yang diperlukan untuk bisa berpraktik sebagai dokter umum memerlukan waktu setidaknya 7-8 tahun.
Lama juga ya…. Jika Anda ambil jurusan Ekonomi, dalam kurun waktu yang sama bisa jadi Anda sudah menempuh pendidikan Strata 2 bahkan mungkin Strata 3.
Menjadi dokter umum memang menantang, selain dari segi waktu pendidikan juga waktu untuk bekerja. Dokter layanan primer di Indonesia, dalam hal ini adalah dokter umum, bekerja dalam situasi yang memprihatikan. Beban kerja mereka amat berat karena dalam sehari pasien yang harus ditangani berjumlah 50-100 orang/dokter. Jam kerja pun terbatas sehingga pelayanan harus dimampatkan dalam waktu tersebut. Akibatnya dokter hanya memiliki waktu yang sebentar untuk melakukan pemeriksaan komprehensif. Hal ini tentunya tidak memungkinkan dilakukannya layanan kesehatan sesuai standar.
Tantangan lainnya adalah dari segi fasilitas. Fasilitas obat-obatan yang diperlukan pasien seringkali tidak bisa diberikan karena tidak ada stok. Pemeriksaan laboratorium yang bisa dikerjakan pun sangat terbatas di layanan primer, apalagi yang berada di daerah terpencil. Tanpa pemeriksaan penunjang, diagnosis yang dibuat pun umumnya masih sebatas suspek/perkiraan.
Kesenjangan antara waktu, jumlah pasien, dan ketersediaan fasilitas membuat dokter layanan primer sulit memberikan tatalaksana yang optimal untuk penyakit yang umum ditemukan seperti hipertensi dan diabetes. Akibatnya, kejadian penyakit tersebut tidak terkendali dan dapat menimbulkan komplikasi mematikan.
Selain beban pelayanan, dokter yang bekerja di layanan primer juga diharuskan untuk memberikan penyuluhan secara berkala ke masyarakat. Keterbatasan waktu untuk memberi pelayanan pada pasien ditambah dengan tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat luas menjadi beban lebih yang mustahil dilakukan. Hal ini membuat dokter layanan primer akhirnya terpaksa mengerjakan seadanya. Asal ada bukti foto sudah cukup.
Tak berhenti di situ, dokter layanan primer juga masih harus membuat laporan bulanan yang banyak. Sehingga seringkali memaksa dokter layanan primer yang bertugas mendelegasikan tugas-tugasnya ke perawat atau bidan yang bekerja di puskesmas tersebut. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan standar, tapi apa boleh buat, karena keterbatasan hal itu harus dilakukan dokter layanan primer di Indonesia.
Walaupun dokter layanan primer di Indonesia memiliki tanggung jawab yang berat dan beban kerja yang besar, ternyata pendapatan yang mereka dapatkan umumnya masih kecil. Jumlahnya sesuai dengan standar pegawai negeri, bahkan seringkali insentif tambahan yang mereka dapatkan dipotong atasan mereka karena regulasi yang belum ada atau bahkan, dipotong tanpa alasan jelas. Hal ini menunjukkan bahwa menjadi dokter layanan primer di Indonesia merupakan tanggung jawab yang berat dan bukan pilihan karir yang baik jika anda berkeluarga.
Fungsi dokter layanan primer di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bisa dikatakan sebagai gate keeper, harus mampu menangani pasien di tingkat primer sebelum merujuknya ke fasilitas kesehatan lanjutan. Perlu diingat bahwa seorang gate keeper kenamaan dunia pun akan kewalahan dan mustahil bisa menjalankan fungsinya jika bola yang harus ditangkap ada 3 bahkan 5 (sekaligus); melayani pasien, memberi penyuluhan, sekaligus menyusun laporan dalam waktu yang hampir bersamaan.
Saat sistem kesehatan di Indonesia (JKN) dihadapkan pada tingginya angka rujukan dan membengkaknya biaya perawatan di faskes lanjutan, menjadi mudah bagi pembuat kebijakan untuk menyalahkan dokter layanan primer di Indonesia karena angka rujukan yang tinggi. Memang lebih mudah (dan murah) mencari kambing hitam ketimbang melakukan reformasi menyeluruh sistem kesehatan nasional. Tapi itu tidak akan menjadi solusi. Menyimpulkan bahwa dokter layanan primer saat ini inkompeten sehingga harus sekolah lagi selama 2 tahun tidak akan menjadi solusi untuk Indonesia. Itu hanya akan buang-buang uang ke toilet.
Ketimbang menggelontorkan uang untuk hal yang mubazir, akan lebih baik jika uangnya digunakan untuk memperbaiki sistem kesehatan. Banyak hal yang dapat dilakukan, mulai dari memperbaiki fasilitas kesehatan, menambah sumber daya manusia, melengkapi fasilitas diagnostik, hingga menyediakan obat-obatan yang diperlukan.
Kalau pihak penentu kebijakan merasa dokter Indonesia kurang siap untuk bekerja di layanan primer, akan lebih mudah untuk merombak kurikulum dokter umum. Saya rasa waktu 7 tahun adalah waktu yang cukup untuk mendidik seorang dokter menjadi kompeten di bidangnya. Pesan saya tolong jangan hanya diajarkan yang manis-manis saja. Ajarkan juga realita pahitnya keterbatasan layanan kesehatan yang kita miliki sehingga ketika mereka akhirnya lulus dan kerja di fasilitas kesehatan mereka tidak akan terkaget-kaget dan menurunkan standar layanan yang diajarkan saat dididik. Mereka harus mau berupaya merubahnya, walau artinya harus berjuang melawan korupnya atasan di tempat kerjanya itu.