“Semakin banyak opsi, semakin tinggi kemungkinan untuk mendapatkan jodoh yang benar-benar pas, bukan?”
Mencari Soulmate: The Old Way
Di antara kita, adakah yang orangtua, kakek, atau neneknya menikah lewat perjodohan? Ketika masih belia, mungkin kita membayangkan perjodohan sesuatu yang sangat mengerikan, menghabiskan seumur hidup dengan orang yang baru saja kita kenal, atau bahkan kita tidak suka. Tetapi faktanya, pernikahan lewat perjodohan (arranged marriage) banyak yang sukses. Walaupun data di Indonesia sulit didapatkan, di Amerika Serikat hanya 4% dari orang yang menikah karena perjodohan bercerai. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan angka perceraian secara umum yang adalah 40-50% (Snell, t.th.). Angka perceraian yang rendah tentu tidak serta mengindikasikan kebahagiaan pernikahan, bisa saja mereka tidak bercerai karena memang di kebudayaan mereka melarang/menstigma perceraian. Akan tetapi, secara umum pasangan arranged marriage melaporkan bahwa mereka merasa lebih mencintai pasangannya seiring dengan berjalannya waktu dan mereka bisa menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia untuk waktu yang lama.
Mencari Soulmate: The New Way
Logikanya, orang yang dijodohkan saja bisa menjalani kehidupan pernikahan yang sukses, apalagi orang yang bebas untuk memilih jodohnya sendiri. Dulu, pencarian jodoh secara mandiri biasanya dilakukan di lingkungan tempat mereka beraktivitas sehari-hari, misalnya di universitas, tempat bekerja, atau komunitas (termasuk komunitas keagamaan). Namun, di era modern dating ini pertemuan dengan orang-orang baru dapat difasilitasi dengan sejumlah aplikasi pencarian jodoh seperti Tinder, Bumble, OkCupid, Paktor, Coffee Meets Bagel, atau Happn. Selain dapat memperlebar koneksi, menambah teman dan pengalaman, serta pengalaman positif lainnya, penggunaan dating app dapat memperbanyak opsi kita dalam mencari jodoh. Semakin banyak opsi, semakin tinggi kemungkinan untuk mendapatkan jodoh yang benar-benar pas, bukan?
Tidak juga. Mengapa? Karena pada kenyataannya banyak orang yang mengeluh betapa sulitnya saat ini mencari pasangan yang bisa diajak untuk membina hubungan serius, bahkan sampai menikah. Salah satu hal yang bisa menjelaskan fenomena ini adalah “the paradox of choice” yang dikemukakan oleh psikolog sosial Barry Schwartz dalam bukunya “The Paradox of Choice: Why More is Less” (Schwartz, 2004). Untuk menjelaskan konsep ini, Schwartz memuat sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Universitas Columbia di Amerika Serikat. Partisipan penelitian dihadapkan kepada dua buah meja, di satu meja terletak enam buah macam botol selai, sementara di meja lain terletak 24 macam botol selai. Lebih banyak orang yang tertarik untuk datang ke meja yang memuat 24 macam botol selai. Akan tetapi, hanya 3% dari mereka yang pada akhirnya benar-benar membeli selai, sementara pada meja enam selai ada 30% orang yang melakukan pembelian.
The Paradox of Choice in Dating
Dengan kata lain, jumlah opsi yang banyak nampaknya menjadi sesuatu yang menarik bagi konsumen, tetapi pada akhirnya menurunkan motivasi mereka untuk membeli. Itulah mengapa banyak orang yang tertarik dengan ide dari modern dating yang banyak difasilitasi oleh aplikasi pencarian jodoh. Kita tertarik dengan pilihan yang banyak (terlalu banyak), hingga pada akhirnya kita tidak pernah merasa puas dengan pilihan kita – atau bahkan membuat keputusan. Salah satu tweet yang dikutip oleh Krupnick (2015) dapat merangkum permasalahan pilihan yang terjadi, “Sometimes I worry that the love of my life is on a different dating app.” Itulah mengapa setelah menemukan pasangan yang cantik/tampan, pintar, baik hati, memiliki selera humor yang bagus, dan nampak memiliki karakteristik yang cocok dengan kita, kita tetap belum mau menjadikannya sebagai pilihan, karena “Hey, bagaimana kalau saya bisa menemukan orang yang lebih baik lagi?” Apabila menemukan ketidakcocokan atau kekurangan dari pasangan, kita menjadi terbiasa untuk “pergi” atau “mundur” dan tidak mengusahakan hubungan tersebut, karena kita merasa yakin bahwa di luar sana ada pilihan lain yang jumlahnya tidak terbatas, apalagi kita hanya perlu membuka dating app untuk menemukan orang-orang tersebut.
Dan skenario ini terus berulang hingga akhirnya kita merasa putus asa dan frustrasi. Lalu bertanyalah kita, apa memang sebaiknya kita kembali ke zaman perjodohan? Zaman ketika kita tidak punya pilihan bebas, sehingga kita menjadi lebih termotivasi untuk berjuang untuk hubungan yang sudah kita miliki?
Modern Dating: Tidak Selamanya Berujung Frustrasi
Pilihan untuk menikah lewat perjodohan tetap ada dan sah-sah saja untuk diambil. Tetapi, kalau kita merasa lebih nyaman untuk memilih pasangan kita sendiri, bukan berarti opsi tersebut menjadi sesuatu yang mustahil. Banyak artikel yang sudah berusaha mengupas mengapa berkencan di era modern ini menguras tenaga, membingungkan, dan tidak berujung (Ansari, t.th., Moeller, 2016). Namun, sebenarnya tidak ada gunanya untuk menggerutu terus menerus, karena pada kenyataannya kita tetap harus hidup di dalam masa dimana aturan untuk berkencan sudah banyak berubah. Tidak banyak yang sudah membahas bagaimana millenial dapat menyikapi situasi ini, namun berikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Ketahuilah apa yang kamu inginkan. Apakah kamu benar-benar ingin mencari pasangan hidup yang serius untuk menikah? Atau kamu masih ingin eksplorasi dan mencoba berkencan dengan beberapa orang, tetapi tidak ingin membina hubungan yang serius dalam waktu dekat?
- Apabila kamu memang ingin hubungan yang serius, komunikasikanlah keinginan ini kepada orang yang kamu ajak berkencan. Sebaiknya ini dilakukan di beberapa kencan awal, sehingga kamu bisa masuk ke dalam hubungan ini dengan pola pikir yang sama dengannya.
- Ketika kamu menemukan seseorang yang kamu suka dan ia juga memiliki keinginan untuk membina hubungan yang serius, fokuslah kepadanya dan berikanlah kesempatan bagi dirimu dan dirinya untuk saling mengenal dan membangun koneksi emosional. Tidak disarankan untuk tetap menggunakan dating app ketika kalian sedang saling mengenal dan berusaha untuk membangun sebuah hubungan. Seorang psikolog klinis dari Amerika Serikat Dr. Wendy Walsh mengatakan, “If you have one foot in the dating pool and one trying to build a relationship, you won’t succeed.” Mengapa? Karena kamu akan membangun hubungan tersebut dengan pola pikir bahwa masih ada orang lain di luar sana yang lebih baik untuk kamu, sehingga kamu menjadi tidak terlalu termotivasi untuk menyelesaikan masalah atau perbedaan yang ada di dalam hubungan kalian.
Selamat mencoba!