Mari Pahami Lebih Dalam: Bukan Sunat Perempuan, tetapi Pemotongan/Perlukaan Genetalia Perempuan (P2GP)

Apakah Sahabat familiar dengan tradisi “Sunat Perempuan”?

Sunat perempuan memang merupakan suatu hal yang kompleks dari bebagai sudut pandang. Praktik yang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun bagi sebagian besar masyarakat ini menuai berbagai pertanyaan, kontroversi dan ambiguitas tentang makna dan tujuan dari tindakan “sunat” bagi perempuan.

Masih banyak juga masyarakat yang merasa tabu untuk membahas perihal ini serta kejelasannya. Apa manfaat sunat perempuan? Bagaimana prosedurnya? Mengapa sunat perempuan masih terjadi?

Di Indonesia, lebih dari satu dari dua anak perempuan menjalani beberapa bentuk sunat perempuan dan sebagian besar termasuk dalam kategori mutilasi dan pemotongan alat kelamin perempuan menurut WHO (UNFPA 2021, Riskesdas 2013) (UNFPA 2021, Riskesdas 2013). Oleh karena itu, saat ini istilah yang digunakan lebih condong kepada Pemotongan/Perlukaan Genetalia Perempuan (P2GP) atau Female Genetalia Mutilation/Circumcision (FGM/C).

Pada 6 Maret 2024, Harvard Club of Indonesia, Berkeley Club of Indonesia, dan Stanford Club of Indonesia telah menyelenggarakan diskusi untuk mengeksplorasi aspek agama, aspek medis, dan aspek sosial-budaya dari P2GP di Indonesia. Diskusi ini dihadiri oleh para pakar yaitu Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. (Kongres Ulama Perempuan Indonesia – KUPI), dr. Muhammad Fadli, Sp.OG (advokat penghapusan P2GP), dan Dra. Eko Novi Ariyanti (Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak – KPPA), dipandu oleh Risya A. Kori (Gender Programme Specialist UNFPA).

Salah satu aktivis Hak Asasi Manusia, Prof. Dr. Todung Mulya Lubis juga hadir dan membuka sesi diskusi dengan pernyataan tegas bahwa praktik P2GP merupakan tindak penganiayaan yang tidak pernah bisa diterima dalam perspektif HAM, karena P2GP menyangkut kepada hak reproduksi perempuan. Beberapa negara lain seperti EKenya, Norwegia dan US pun sudah secara resmi melarang praktik P2GP.

Lebih lanjut, Eko Novi Ariyanti memaparkan hasil pendataan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021, dimana lebih dari 50% ibu yang pernah disunat melakukan sunat pada anak perempuannya pada usia sekitar 29 hari bahkan sampai 2 tahun atau lebih. “Data yang ditunjukkan ini tidak jauh berbeda antara di kota dan di pedesaan, artinya ini merupakan tradisi yang dilakukan turun-temurun,” ungkap Dra. Eko Novi Ariyanti.

Dari sudut pandang medis, dokter Fadli menjelaskan bahwa harus dimengerti perbedaan anatomi laki-laki dan perempuan; sunat pada laki-laki dilakukan karena pada laki-laki terdapat prepusium (kulit lebih) yang menutupi saluran uretra, sehingga saat buang air kecil memungkinkan adanya tetesan-tetesan yang terperangkap yang dapat memicu infeksi saluran kemih. Selain itu, sunat juga bisa menurunkan risiko kanker penis.

“Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama dengan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sudah mengeluarkan pernyataan bahwa praktik sunat perempuan tidak memiliki keuntungan medis,” tegas dokter Fadli.

KUPI sendiri menyadari peran yang besar untuk mengedukasi dan merubah cara pandang masyarakat Islam tentang P2GP. Dr. Nur Rofiah menggarisbawahi sikap KUPI yang mengharamkan praktik P2GP yang membahayakan tanpa alasan medis. Sementara itu, pada tahun 2018 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengutuk P2GP dan menyatakan bahwa hal tersebut tidak didasarkan pada ajaran Islam. Deklarasi ini memainkan peran penting dalam menantang kesalahpahaman tentang pentingnya FGM dalam agama.

Apa langkah nyata yang dilakukan untuk menghapus praktik P2GP?

Pada kenyataannya, masih banyak permintaan masyarakat untuk melakukan “sunat perempuan” karena nilai tradisi dan kebudayaan turun-temurun yang masih kuat. Bahkan praktik P2GP dijadikan sebuah bisnis dalam bentuk “paket melahirkan” pada faskes tertentu di beberapa daerah. Hal ini pun menempatkan para bidan dalam posisi yang serba salah, karena jika bidan menolak melakukan P2GP maka masyarakat cenderung beralih kepada alternatif lain.

Melihat situasi seperti ini, KPPA membuat roadmap menuju Eliminasi P2GP 2030. Eko menjelaskan beberapa strategi yang sedang berjalan, diantaranya pendidikan publik secara masif dengan target utama anak muda, keluarga dan para laki-laki yang akan menjadi ayah; penyediaan data nasional; advokasi kebijakan bersama Kemenkes dan IBI (Ikatan Bidan Indonesia); serta kerja sama dengan KUPI, organisasi masyarakat sipil, komunitas maupun berbagai stakeholder terkait.

“Sejak 2018, kami juga mengedukasi masyarakat untuk menggunakan istilah P2GP untUK menghapus istilah sunat/sunah. Definisi ini untuk menghindari anggapan bahwa upaya praktek P2GP adalah hal yang sunah dalam agama,” jelas Eko Novi Ariyanti.

Bagaimana hukum yang mengaitkan tenaga medis dan praktik P2GP di Indonesia?

  1. Pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO telah mengeluarkan pedoman dan rekomendasi mengenai penghapusan P2GP. Pedoman ini menekankan pentingnya peraturan, advokasi, dan keterlibatan masyarakat untuk mengakhiri praktik ini. Mereka juga menekankan perlunya penyedia layanan kesehatan untuk diberi pendidikan tentang dampak berbahaya dari P2GP dan memberikan dukungan dan perawatan bagi para penyintas.
  2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pada tahun 2006, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan No. 1636/Menkes/PER/X/2010 yang melarang petugas kesehatan melakukan P2GP. Peraturan ini bertujuan untuk mencegah medikalisasi P2GP dan memastikan bahwa fasilitas kesehatan tidak mendukung atau memfasilitasi praktik tersebut.
  3. UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak di Indonesia (UU No. 35/2014) melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk P2GP. Undang-undang ini mengakui P2GP sebagai praktik berbahaya yang melanggar hak-hak anak dan mewajibkan dilakukannya tindakan untuk mencegah dan mengatasinya.
  4. Program Pemberdayaan Masyarakat. Pemerintah Indonesia dan berbagai LSM telah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya P2GP dan mempromosikan ritual alternatif. Program-program ini melibatkan para pemimpin lokal, keluarga, dan generasi muda untuk mengubah sikap dan perilaku seputar P2GP.

Menghapus praktik P2GP dan mengubah pola pikir masyarakat yang sudah mendalam tentang tradisi P2GP memang tidak mudah. Oleh karena itu, Angsamerah sebagai penyedia fasilitas layanan kesehatan akan selalu mendukung berbagai upaya penghapusan praktik P2GP di Indonesia, baik melalui edukasi kepada masyarakat maupun pelatihan kepada tenaga medis dan juga kerjasama yang dilakukan dengan berbagai pihak.

Mari bersama terus menyuarakan penghapusan praktik P2GP yang bertentangan dengan HAM dan hak reproduksi perempuan!

Artikel Terkait

Si Mungil Yang Praktis dan Banyak Manfaat (PIL KB)

Pikir-pikir Sebelum Memilih KB

Kesehatan Reproduksi dan HIV Di Tengah Ketidaktahuan dan Sorotan Prioritas

Kesalahpahaman Yang Umum Tentang Penyebab Keguguran

Tips Agar Hamil

Kontrasepsi: Myths & Facts

Previous
Next

Buat janji dokter sekarang

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.