Pejuang Vaginismus

Bukan Aku Tidak Mau, Tapi Aku Tidak Bisa

Komunikasi adalah kunci dari sebuah hubungan yang sehat. Baik itu pertemanan, keluarga bahkan hubungan suami-istri. Dengan saling berkomunikasi, kita bisa lebih saling mengerti keinginan dan situasi satu sama lain. Meskipun demikian, kenyataannya tidak selalu semudah itu bagi para penyintas vaginismus.

Vaginismus adalah penyakit organ reproduksi di mana terjadi kekakuan pada otot-otot dinding vagina yang tidak bisa dikendalikan oleh penderitanya, sehingga menyebabkan permasalahan seperti rasa nyeri dan kegagalan penestrasi. Kekakuan dan rasa nyeri inilah yang membuat penis sulit untuk masuk ke vagina.

Pada Sabtu, 10 Juli 2021, Kacapikir sebagai program dari Angsamerah telah melaksanakan webinar seputar vaginismus berjudul: “Bukan Aku Tidak Mau, Tapi Aku Tidak bisa”. Para peserta diperkenalkan lebih dalam mengenai penyakit vaginismus oleh dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG serta mendengar pengalaman dari penyintas vaginismus, Dian Mustika, yang juga adalah penggagas dari Komunitas Pejuang Vaginismus.

Vaginismus memang hanya dialami oleh perempuan yang sudah aktif secara seksual, sehingga tidak ada pemeriksaan dini untuk mendeteksi gejalanya. Sebagai praktisi medis vaginismus komprehensif pertama di Indonesia, dr. Robbi menyatakan bahwa umumnya rasa nyeri pada vagina itu sendiri tidak seharusnya dirasakan, apapun alasannya. Terutama ketika berhubungan intim, seharusnya membawa kenikmatan, bukan rasa nyeri.

Namun, ada banyak mitos yang beredar di masyarakat yang menyebabkan para penyintas vaginismus juga mendapatkan tekanan psikis dan sosial. Misalnya, seks adalah perempuan melayani laki-laki, seks hanya butuh penis yang ereksi, seks yang sakit adalah wajar terutama pada malam pertama, jika tetap merasa sakit berarti kurang rileks, dsb.

Dengan adanya mitos-mitos ini, para penyintas vaginismus menjadi cemas, depresi, memiliki kepercayaan diri yang rendah dan emosi negatif. Banyak orang-orang yang memberikan stigma dan hinaan, bahkan mungkin mendapat tekanan juga dari pasangan sendiri karena dianggap tidak bisa memuaskan suami. Hal-hal ini pun membuat para penyintas vaginismus merasa tidak berdaya dan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan terkadang, mengkomunikasikannya dengan pasangan pun dirasa tidak cukup.

Ini adalah hal yang sama yang dirasakan oleh Dian Mustika ketika pertama kali mengetahui bahwa ia menderita vaginismus. Dian mengaku bahwa ia termasuk beruntung karna bisa cepat mendapatkan informasi dan penanganan atas vaginismus yang ia derita, semetara itu ia melihat bahwa ada banyak penyintas vaginismus yang masih tidak mengerti, kurang mendapatkan akses informasi yang tepat sehingga banyak yang merasa ingin menyerah. Sejak itu Dian tergerak untuk menggagas Komunitas Pejuang Vaginismus, kelompok support system sebagai wadah berbagi keluh kesah, pengalaman, dan saling berbagi informasi.

Dian juga menceritakan beberapa kesulitan yang dihadapi selama ini, misalnya masih banyak para penyintas vaginismus yang belum terbuka karena merasa malu dan tertekan. Masih banyak pula penyintas yang bersikap denial. Oleh karena itu dukungan moril sangat dibutuhkan bagi para penyintas vaginismus, bersamaan dengan edukasi yang tepat bagi para suami penyintas. Dian juga menganjurkan untuk segera minta bantuan ahli, dan yang paling penting adanya komitmen dan kesiapan dari diri sang penyintas untuk melakukan proses penyembuhan.

Lantas apa penyebab vaginismus? dr. Robbi memaparkan bahwa sampai saat ini penyebab vaginismus masih tidak diketahui. Dari sejarah kedokteran, vaginismus sendiri sudah ditemukan sejak tahun 1547. Sementara data penyintas vaginismus di Amerika Serikat berkisar 7-17%, artinya tujuh dari seratus perempuan usia produktif menderita vaginismus.

Salah satu metode yang saat ini dilakukan untuk penyembuhan vaginismus adalah dengan Dilatasi, yaitu perenggangan otot-otot dinding vagina yang mengalami kekakuan dengan alat bantu agar tidak kaku lagi. Metode Dilatasi ini sendiri dapat dilakukan secara mandiri oleh penyintas vaginismus, hanya saja dr. Robbi menekankan bahwa setiap penyintas vaginismus memiliki timeline nya masing-masing. Ada yang menderita vaginismus sudah lama dan memiliki perkembangan penyembuhan yang lama, ada pula yang baru terdeteksi dan melalui proses penyembuhan yang mudah.

Oleh karena itu, dr. Robbi juga mengimbau bagi para tenaga kesehatan (Nakes) untuk bisa menyediakan solusi yang manusiawi dan tidak membuang-buang waktu bagi penyintas vaginismus. Bagi dr. Robbi, vaginismus bukanlah permasalahan penyakit fisik saja, namun juga masalah kemanusiaan. Nakes juga harus bisa memberikan pelayanan yang layak dan tanpa stigma, agar tidak menambah kecemasan dan tekanan psikis bagi penyintas vaginismus.

“Kita tidak akan pernah bisa membantu menyembuhkan penyintas vaginismus dengan menyalahkan mereka dan menuduh mereka kurang rileks atau tidak bisa mengendalikan pikiran. Vaginismus tidak bisa dikendalikan oleh mereka. Itu bukan kesalahan mereka. Mereka harus dibantu, bukan disalahkan,” ujar dr. Robbi memberikan kesimpulan.

Pelayanan yang ramah, aman, nyaman, tanpa stigma dan diskriminasi adalah nilai yang selalu ditekankan oleh Angsamerah sebagai yayasan dan fasilitas kesehatan primer. Angsamerah yakin bahwa semua orang berhak mendapatkan layanan kesehatan yang layak dan berkualitas, termasuk edukasi kesehatan yang memperluas wawasan dan cara pandang masyarakat.

Simak lebih lanjut Webinar Vaginismus
“Bukan Aku Tidak Mau, tapi Aku Tidak Bisa”
Sabtu, 10 Juli 2021 pada kanal YouTube Angsamerah.

Artikel Terkait

Nyeri Saat Haid

Layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi wanita

Mengenal Endometriosis

Saat Jam Biologis Berhenti

HPV itu katanya…

Vulva, Si Pintu Gerbang yang Istimewa

Previous
Next

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.