Apa itu Kekerasan Seksual?
Setiap tindakan, ucapan, atau perbuatan yang dilakukan seseorang untuk melakukan kegiatan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak yang terlibat merupakan kekerasan seksual. Terdapat 15 jenis kekerasan seksual yang diidentifikasi Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama periode 1998-2013; diantaranya yaitu perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kehamilan atau aborsi, dan kontrol seksual. Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapapun, dan dilakukan oleh siapa saja. Faktor risiko meningkatnya kemungkinan seseorang menjadi korban maupun pelaku adalah kondisi, keadaan, atau karakteristik yang terkait dengan diri dan lingkungannya.
Siapa yang Mengalami Kekerasan Seksual?
Meski kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja, keterlibatan perempuan sebagai korban kekerasan seksual lebih banyak dibandingkan laki-laki. Komnas Perempuan mencatat sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Akan tetapi, pengungkapan dan penanganan kekerasan seksual pada perempuan tidaklah mudah, karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Sebagai simbol kesucian dan kehormatan, perempuan dipandang sebagai aib ketika mengalami kekerasan seksual. Hal ini menyebabkan banyak korban perempuan akhirnya bungkam.
Kesulitan mengungkapkan kekerasan seksual yang dialami tidak hanya dialami oleh korban perempuan, tetapi juga oleh korban laki-laki. Dalam budaya Indonesia, laki-laki dianggap sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam suatu hubungan, yang juga dikenal dengan budaya patriarki. Laki-laki juga memiliki “rasa kejantanan”. Hal tersebut membuat mereka merasa malu dan meragukan dirinya bahwa mereka seharusnya “cukup kuat” untuk melawan pelaku kekerasan seksual.
Akibatnya, baik korban perempuan maupun laki-laki tidak menyuarakan deritanya bahkan berusaha menyangkal statusnya sebagai korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan kejadian traumatis yang menimbulkan banyak permasalahan, baik secara fisik maupun psikologis. Konflik antara keinginan untuk menyangkal kejadian traumatis dan keinginan untuk mengungkapkannya secara verbal adalah tanda utama dari trauma psikologis. Reaksi yang dihasilkan terhadap trauma psikologis para korban pun berbeda. Namun pada dasarnya, para korban mengalami perubahan pada identitas diri. Identitas diri pasca-trauma (post-traumatic self) mencerminkan perubahan dan konfigurasi ulang dimensi struktural dalam dirinya dan proses psikologis yang mereka atur. Paparan traumatis yang mempengaruhi para korban secara emosional dapat mengubah rasa kesejahteraan, nilai-nilai, dan pandangan hidup mereka.
Dampak Kekerasan Seksual
Setelah pengalaman traumatis, terdapat tiga konsekuensi yang mungkin terjadi dalam jangka panjang. Pertama, sebagian besar korban menunjukkan pengurangan gejala seiring waktu; meskipun mereka mungkin tidak pernah melupakan peristiwa itu, bahkan akan sedikit tertekan ketika mengingatnya, mereka tetap melanjutkan kehidupan normal mereka.
Kedua, korban dapat mengalami gejala kronis yang terbatas yang dapat didiagnosis sebagai Fobia Spesifik. Ketiga, korban akan mengalami gangguan stres pasca-trauma (Post-Traumatic Stress Disorder/PTSD), yang dibedakan dari gangguan kecemasan lainnya dengan adanya kilas balik (flashback), mimpi buruk, dan gejala disosiatif. Sekitar 10-15% dari korban trauma yang parah akan mengalami gejala PTSD secara penuh.
Baca juga: Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Dalam ketiga konsekuensi ini, terdapat gejala traumatis dengan dasar yang sama sehingga proses pemulihan juga mengikuti jalur yang serupa. Inti dari trauma psikologis adalah ketidakberdayaan dan isolasi dari orang lain. Oleh karena itu, prinsip pertama pemulihan adalah pemberdayaan penyintas (survivor) dan adanya hubungan baru dengan orang lain. Penyintas harus menjadi tokoh utama dalam pemulihannya sendiri. Orang lain dapat memberikan bantuan berupa saran dan dukungan tetapi tidak penyembuhan.
Proses Pemulihan
Penyintas dapat memulai proses pemulihan yang terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama yaitu membangun rasa aman. Penyintas perlu mengetahui diagnosis dari gejala-gejala yang dialaminya. Kemudian penyintas perlu mendapatkan arahan untuk memegang kembali kontrol atas dirinya yang perlahan demi perlahan mengarah pada kontrol atas lingkungannya. Kemajuan ini dibutuhkan untuk membuat lingkungan yang aman.
Tahap kedua yaitu mengingat kembali kisah traumatis yang dialami dan mengekspresikan rasa sedihnya. Pada tahap ini, penyintas menceritakan secara emosional apa yang mereka alami secara detil dan mendalam. Setelah berdamai dengan masa lalu yang traumatis, penyintas dihadapkan pada tantangan untuk merakit masa depan.
Pada tahap ketiga, penyintas berproses untuk mencari pegangan hidup yang baru. Langkah pertama yang dapat dilakukan yaitu belajar untuk melawan, seperti belajar bela diri. Dalam bela diri, penyintas akan terpapar oleh “rasa takut” dimana mereka dituntut untuk memberikan respon psikologis yang normal yaitu bertindak. Membiasakan diri bahwa mereka memiliki pilihan untuk bertindak membuat penyintas menyadari pernyataan “Saya tahu saya punya diri saya sendiri”. Hal ini membuat penyintas lepas dari perasaan dimiliki oleh orang lain dan mulai berdamai dengan diri sendiri. Langkah selanjutnya yaitu menjalin kembali hubungan dengan orang lain, tentunya dengan memberikan kepercayaan yang sesuai dengan orang lain tersebut. Selain itu, penyintas juga bisa berpartisipasi dalam aksi sosial terkait kekerasan seksual.
Kekerasan seksual merupakan sebuah trauma besar bagi beberapa korban. Trauma ini pun tidak pernah bisa hilang walaupun sudah melewati proses pemulihan. Pandangan penyintas akan kehidupan mungkin akan berbeda dengan orang-orang lainnya. Namun, paling tidak, setelah melewati proses pemulihan, penyintas belajar untuk menghargai dirinya sendiri dan kebahagiaannya. Proses pemulihan mungkin sulit dilewati, apalagi bila sendiri. Adanya bantuan dan dukungan dari orang sekitar, termasuk para profesional dapat dimanfaatkan untuk memperlancar perjalanan pemulihan.