Author

Endang Sukmawati

Illustration

Perempuan oh perempuan

Tulisan ini dibuat untuk tidak men-judge hidup orang lain, sekedar berbagi.. Mungkin kita bisa ambil “pelajaran” dari setiap masalah yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari… #

Tulisan ini lagi-lagi terinspirasi dari buku EAT PRAY LOVE-nya Elizabeth Gilbert, kisah hidup seorang PEREMPUAN dalam pergulatan hidup mencari jati dirinya… Kenapa saya tertarik sekali menulis tentang PEREMPUAN? Jawabannya sederhana sekali, karena saya PEREMPUAN, tidak kurang tidak lebih (dilarang protes buat yang baca)

Banyak teman-teman saya menceritakan kegalauan dan kegundah-gulanaan hidupnya kepada saya, dan saya simpulkan kisah kehidupan teman-teman saya itu seperti roda. Kok seperti roda, maksudnya apa? Hmm… gini ya, tau roda kan? Roda itu berputar (ya iyalah, terus apa hubungannya). Hubungannya bukan seperti yang sering orang bilang “hidup seperti roda, ada saat di bawah, ada saat di atas”, it is ‘not kind of’ roda yang saya maksud di sini. Roda di sini maksudnya adalah seperti kita mengalami masalah xxx di umur 20 tahunan, and well, di umur 41 tahun kita mengalami masalah xxx ini lagi. Jadi hidup itu seperti roda karena berulang-ulang kita akan mengalami masalah itu di rentang usia berapa pun. Tapi benang merah dari masalah-masalah yang terulang seperti roda itu, menurut logika sederhana saya, adalah bahwa masalah itu seperti ujian alias tes. Ujian diberikan kepada kita agar kita lulus dan bisa naik kelas. Jika pada usia tertentu kita diberi masalah/ ujian tertentu dan tidak lulus, maka masalah/ujian itu akan terus menghantui kita sampai kita dianggap lulus dalam masalah/ujian itu. Are we on this with me?

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kita dianggap lulus? Oleh siapa kita dianggap lulus?

Kita dianggap lulus, mungkin, ini menurut pendapat pribadi saya lho, adalah ketika masalah yang sama menghampiri kita lagi, namun kita lebih siap menghadapinya dan akhirnya kita bisa memutuskan dengan pertimbangan matang alias siap dengan segala konsekuensinya, sehingga kita tidak terlalu pusing dan kalap akibat masalah ini. Pusing, galau, bête, sah-sah saja jika menghadapi masalah itu, namun keputusan bisa diambil dengan kepala dingin sehingga pelan-pelan masalah teratasi dengan waktu yang berjalan.

Oleh siapa kita dianggap lulus?

Nha, ini pertanyaan yang saya juga masih mencari-cari jawabannya. Kalau menurut logika sederhana saya, kita dianggap lulus ujian bagi orang-orang di sekeliling kita, dengan mereka melihat kita seakan-akan tidak punya masalah. Bagaimana ? Ya mungkin mereka melihat penampilan kita yang cerah ceria, segar tanpa beban. Padahal di balik apa yang kita tampilkan dengankeceriaan itu membutuhkan suatu kemampuan luar biasa untuk menyembunyikan kepedihan hidup atas masalah kita kepada orang lain.

Masalah ada dalam diri kita, diri siapa saja, namun kedewasaan dan kematangan kita (karena telah melewati tahapan ujian sebelumnya) menjadikan kita siap menghadapi masalah yang datang, dan bisa menampilkan yang terbaik dari kita kepada orang lain. Dan bukankah lebih baik bila kita sharemasalah kita kepada orang yang tepat, yang bisa memberikan support untuk kita terus melangkah daripada mengeluh dan mengaduh atas ujian yang kita hadapi ini kepada siapa saja? Karena, menurut saya, orang-orang ini bukan peduli terhadap masalah kita, tapi hanya penasaran… Bukan begitu bukan ??? *blushing*

Kemudian, logika saya berkembang lagi, again, ini dari kacamata saya, kita dianggap lulus atas masalah tertentu oleh YANG MAHA PUNYA SEGALA adalah dengan BELIAU memberikan masalah kepada kita yang lebih rumit/pelik/complicated dari masalah sebelumnya yang kita alami. Misalnya begini lho, waktu kita TK diberikan soal matematika 1 +1 = 2, kita jawab dengan mudah soal itu, dan kita naik kelas ke tingkat SD. Ketika kita di SD soal matematika kita adalah 25 x 65 : 15 + 55 – 40, kita jawab sekian dan luluslah kita dari SD. Lanjut ke SMP, SMA, Perguruan Tinggi, soal matematika yang diberikan bertambah pula kerumitannya sampai kita menguasai alias lulus dalam hitung-hitungan Matematika ini.

Untuk sekolah yang bernama kehidupan ini, Tuhan berikan ujian kehidupan kepada kita berupa masalah yang bermacam-macam jenisnya/wujudnya, dari masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, rumah tangga, usaha, pekerjaan, asmara dsb dst etc. Lagi-lagi yang saya amati, sepanjang saya bernafas di dunia dan mulai mencari arti diri saya dalam hidup ini adalah bahwa setiap dari kita diberi masalah yang berbeda-beda jenis dan bentuknya, tingkat kesulitannya pun berbeda-beda sesuai kapasitas kemampuan yang BELIAU anugerahkan kepada kita.

HOW COME ???

Tulisan ini saya buat terinspirasi dari curhat sahabat baik saya yang memasuki usianya yang ke 41 tahun yang masih menangis tersedu-sedu kepada saya karena harus memutuskan hubungan dengan “kekasih”nya. Sudah empat atau lima bulan ini intensitas komunikasi kami kuat sekali, di mana ia menceritakan kesedihan dan kegundah-gulanaannya ini kepada saya. Sahabat saya ini berstatus menikah dan memiliki seorang anak. Menurutnya, kesalahan hidup yang dibuatnya adalah ketika berumur 29 tahun dia memutuskan untuk menikah dengan seseorang yang hanya dikenalnya selama 6 bulan. Dalam kurun waktu tersebut, ia tidak mengenal cukup baik calon pasangan hidupnya, namun tetap memutuskan menikah kerena dikejar usia dan pelarian dari patah hati sebelumnya. Saya sering dengar ungkapan seperti ini, “…carilah orang yang tidak hanya mengubah statusmu, tapi bisa mengubah hidupmu (menjadi lebih baik)..” Well, mungkin ungkapan ini tepat sekali menggambarkan dirinya. Di awal pernikahannya, sahabat saya ini mengubah dirinya menjadi sosok seperti yang diinginkan suaminya. Lama-lama terasa berat karena memang sulit untuk terus-terusan memakai topeng, meskipun topeng itu dipakai di rumah sendiri (#miris#).

Akhirnya ia lepaskan topengnya dan menjadi dirinya sendiri, dengan berani melawan ketidak-setujuannya atas perlakuan suaminya. Sahabat saya tersebut mengalami KDRT psikis dalam rumah tangganya dan memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai namun tidak diijinkan suaminya karena ikatan agama yang mengharuskan mereka bersatu, till death do them part. Well, kalau sudah begini, mau apa lagi ya ??? Singkat kata, sahabat saya menjalin affair dengan kekasih lamanya yang juga sudah berkeluarga. Selama 3,5 tahun belakangan ini ia merasa hidupnya lebih berwarna dengan kehadiran kekasih masa lalunya. Namun, hubungan ini akhirnya tercium oleh keluarga kekasih sahabat saya tersebut. Cerita klasik, si kekasih memutuskan sahabat saya for the sake of his family. Perlu dicatat, bahwa sahabat saya memiliki karir yang sangat baik dengan gaji dan fasilitas yang oke banget di perusahaan tempatnya bekerja, jadi tidak unsur “transaksi uang” dengan kekasihnya.

Selain hubungan personal sahabat saya dan kekasihnya itu, mereka juga mengadakan kerjasama usaha dari network sahabat saya dan usahanya tersebut bisa memberikan tambahan income yang cukup memadai bagi kedua belah pihak. Saat ini, sahabat saya sedang galau-galaunya, don’t know what to do with her life. Dalam 4 bulan ini sudah 3 perusahaan/kantor yang ia masuki (pindah-pindah) karena begini, karena begitu, akibat kehampaan hidupnya setelah affair-nya berakhir. Dari berkali-kali kami berkomunikasi, saya bisa simpulkan 2 masalah besar dalam hidupnya, yaitu masalah personal dan masalah pekerjaan.

Untuk masalah personal alias kehampaan hatinya, terlepas dari ia masih memiliki ikatan resmi dengan suaminya, saya tanyakan kepadanya apakah ia masih mau meneruskan hubungannya dengan kekasihnya atau mencari kekasih baru (karena suaminya tidak mau menceraikannya). Jika ia memilih kembali kepada kekasihnya, ia harus menjalankannya dengan kehati-hatian dan limitasi yang harus disepakati kedua-belah pihak. Jika ia mencari kekasih baru, well, perlu waktu lagi untuk saling mengenal, mengelola perasaan, mulai dari awal lagi, starting from zero.

Untuk masalah pekerjaan, saya tanyakan apakah ia akan terus bekerja di perusahaan sekarang dengan sisi baiknya gaji lebih baik dari perusahaan sebelumnya namun pekerjaan tidak ada tantangan, atau kembali ke kantor lamanya yang memberikan ia celah untuk mengembangkan potensi dirinya namun gajinya lebih kecil? Saya berikan opsi-opsi tersebut dengan konsekuensi yang ada, misalnya jika tetap bekerja di kantor sekarang, ia bisa mengembangkan rencananya mengembangkan usaha bisnis on-line yang iacita-citakan. Jika ia kembali ke kantor lama yang dinamis, waktunya akan tercurah untuk pekerjaan sehingga tidak ada waktu, not even waktu untuk menjalin hubungan asmara baik dengan kekasihnya atau mencari kekasih baru.

Sampai tulisan ini saya buat, baru tahapan saran ini yang saya berikan kepadanya belum ada keputusan yang ia ambil. Mungkin seiring berjalannya waktu, ia bisa membuat keputusan yang lebih baik bagi hidupnya, bagi anak-anaknya.

Dari cerita di atas, terlepas dari keputusan yang sahabat saya ambil, benar atau salahnya, saya berada pada posisi yang tidak ‘menghakimi’, non-judgemental. Saya ambil peran sebagai pendengar, pemberi masukan/pandangan atas pilihan-pilihan keputusan yang ada berikut konsekuensinya.

Kita lebih sering mengeluh “kenapa hidup gue begini?” ; “kenapa hidup gue begitu?” ; “cerai atau ngga”? ; “pindah kerja atau terus di sini?” dan lain-lain, dan sejenisnya. Kita tidak mempersiapkan diri kita untuk lebih fokus mengambil tindakan untuk memutuskan satu pilihan dari banyaknya alternatif pilihan hidup yang membuat hidup kita lebih complicated / dilematis tersebut. Moreover, kita tidak pernah mempersiapkan diri untuk siap menanggung RESIKO atas pilihan yang kita ambil tersebut.

Contoh nyata lain adalah sahabat lain yang seumur hidupnya galau atas kehidupan pernikahannya, mau cerai atau tidak, mengingat masalah yang ia hadapi dengan pasangannya bertahun-tahun.Well, saya pernah dan sering tanyakan padanya… “kenapa sampe sekarang elo ngga cere juga kalo elo menderita hidup sama laki elo..?” dan sering jawaban yang saya dengar terlontar dari mulutnya…“iya, nanti siapa yang ngasih uang belanja gue, lagian enakan dia kalo cere nanti, dia bisa kawin lagi, gue yang sendirian…”

Dari cerita ini, saya mendesah…”well… well,..katanya hidup menderita, disuruh ambil keputusan, tapi tidak siap konsekuensinya, so.. menderitalah seumur hidupmu..”

Bukan jahat… sumpah demi Tuhan bukan jahat saya dalam hati berkata begitu…. Ya… masalah itu tidak akan selesai kalau kita tidak mau ambil keputusan atas hidup kita itu. Maksud saya, life is choices, pick one and live it with its consequences.

Atas masalah sahabat saya itu, saya definisikan masalahnya yaitu hidup menderita dengan suaminya, pilihan hidup atas masalahnya adalah bercerai atau terus hidup dengannya.
Kalau ia memutuskan cerai, the good side adalah ia bisa lebih bebas, tidak ada tekanan batin, dan lain-lain , plus the bad side-nya pun dia harus ambil juga (karena bagian dari paket cerai tersebut) seperti sendiri lagi, uang belanja dibatasi, kerelaan dirinya jika suaminya menikah lagi (nantinya).

Kalau ia memutuskan tetap bersatu, ya terimalah suaminya “apa adanya”. Dalam hal ini tidak ada pilihan “ada apanya” hehehhe. Sejelek-jeleknya, sebau-baunya, sehitam-hitamnya, seputih-putihnya, take him for what he is and try to adjust her level of conformity untuk hidup bersamanya, untuk tidak selalu kesal terus dengan kelakuan-kelakuan suaminya.

Either cerai atau tidak cerai, semua butuh perjuangan dan doa. Tidak ada yang enak dan instan di dunia.

Penerimaan diri atau acceptance, ini yang katanya gampang diucapkan tapi berat sekali dijalankan. Tahapan diri menuju level ‘acceptance’ ini memang sulit, perlu pemahaman akan dunia sekitar (yang terdekat dari keluarga) baru beranjak ke sahabat, lingkungan rumah, lingkungan kantor, lingkungan organisasi, dsb, dunia yang lebih luas (termasuk dunia maya/social network: FB, twitter, heheh) dan terakhir penerimaan akan Tuhan bahwa inilah yang terbaik yang Tuhan berikan kepada kita selama kita hidup di dunia.

Jadi, tidah pernah ada keluhan “Ya Tuhan kenapa ini terjadi padaku?” pada saat kesedihan/kesengsaraan terjadi pada kita. By the way, pernahkah kita bilang … “Ya Tuhan, kenapa ini terjadi padaku?” …saat kita sedang mendapat kegembiraan, bonus tahunan dari kantor, proyek yang untung besar dll, dsb ?

And ladies… if you are still single, coba jujur terhadap diri sendiri, apa yang salah dalam diri kita, apakah kita tidak mencintai diri kita sehingga kita selalu bermasalah dengan pacar/kekasih dan kisah cinta tidak berujung ke pelaminan ??? Apakah kita yang di usia sekian ini masih terus singlekarena ada masalah dalam kepribadian kita, kehidupan personal kita yang harus kita selesaikan terlebih dahulu sebelum kita membuka diri kita kepada orang lain, mempelajari dan menerima orang lain dalam hidup kita pada suatu hubungan asmara ???

And ladies, kalau sudah married, sudahkah didefinisikan masalah rumah tangga dengan life-partner alias pasangan hidup? Whether it is financial, love, kids, parents-son-in laws relationshipsproblems ? Kalau sudah teridentifikasi masalahnya, mulailah gali alternatif solusinya, kemudian pikirkan konsekuensi yang timbul akibat pilihan-pilihan itu sehingga kita lebih siap menyikapi masalah yang ada, dan tidak blunder masalahnya, merembet ke mana-mana sehingga membuat hidup lebih complicated.

So, friends, jadi kita mau terus berkubang di masalah yang sama seumur hidup kita atau hidup damai dalam menyikapi semua masalah hidup kita yang diberikan pasti sesuai kemampuan kita mengatasinya ???

The answer is yours to decide…

# tulisan ini dibuat hasil renungan diri memasuki usia 41 tahun di bulan Juni 2013, hasil ngobrol-ngobrol dengan teman senasib yang galau belum ketemu jodoh dan yang sudah married tapi masalahnya lebih kompleks #

About Endang Sukmawati
A Life Learner and an Entrepreneur. A lady who keeps learning anything from anyone she meets in her life, and being an entrepreneur is a part of her journey of learning things in her life. Ms. Endang Sukmawati has formally worked in management areas from various company and organizations for the last 15 years. Currently, Ms. Endang Sukmawati is running her own business in partnership with many of her best friends at PT WIDYA KENCANA ARTHA (a consulting firm providing a wide range of consulting and training services in the areas of Management, People Development, organizing events with MICE Concept), at PT WIDYA ARTHA MEDIKA (trading of medical equipment), and at CV WICAKSONO CEMERLANG (general trade and supply).

Artikel Terkait

Bagaimana Dokter Mendiagnosa Keputihan?

Infeksi Herpes Genital Itu….

Gonore

Mengenal Infeksi Menular Seksual

Seks, Seksual dan Seksualitas

Demam, Gejala atau Penyakit?

Previous
Next

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.