Perhatian dan Rekomendasi Terhadap Layanan Kesehatan Bagi Tahanan Perempuan

Sahabat pasti setuju bahwa akses layanan kesehatan merupakan hak asasi semua orang, tanpa terkecuali. Ini berarti termasuk para tahanan yang dipenjarakan. Meskipun demikian, harus diingat bahwa keperluan kesehatan antara laki-laki dan perempuan berbeda-beda, sehingga seharusnya hal ini juga menjadi perhatian khusus.

Seperti yang sudah dibahas pada artikel sebelumnya, kesehatan tahanan perempuan cenderung di nomor duakan meskipun sebenarnya sudah ada aturan standar tentang layanan kesehatan bagi para tahanan. Padahal di sisi lain, jumlah tahanan perempuan juga semakin meningkat dari waktu ke waktu, mereka yang datang dari berbagai latar belakang. Dengan permasalahan yang ada ini, muncul lagi pertanyaan lainnya: layanan kesehatan seperti apa sih yang harus diprioritaskan bagi para tahanan perempuan?

Kesehatan Mental

Menurut penelitian, para perempuan di penjara memiliki isu kesehatan mental yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada umumnya maupun para tahanan laki-laki Bastick & Townhead, 2008; Mardiati & Anindyajati 2013). Kesehatan mental para perempuan cenderung mengalami gangguan sebagai akibat dari KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), kekerasan fisik dan pelecehan seksual (Atabay, 2008). Para perempuan ini lantas memiliki tingkat kesulitan ekonomi yang tinggi, serta trauma yang tidak terselesaikan yang juga mengakibatkan tingginya krisis kesehatan mental. Misalnya, lebih dari setengah dari semua perempuan mengalami peristiwa traumatis, yang mengakibatkan masalah kesehatan mental yang besar (Wolff, Shi & Seigel, 2009).

Para perempuan yang kecanduan alkohol maupun narkotika lebih cenderung untuk menderita depresi, kesepian, gangguan stress pasca trauma (PTSD), gangguan kecemasan lainnya, gangguan makan, dan gangguan kepribadian (Covington & Bloom, 2007). Kecanduan zat terlarang dan penyalahgunaan alkohol merupakan gangguan kesehatan mental yang paling umum di antara populasi tahanan perempuan Indonesia (Tyler et al., 2019). Banyak perempuan membutuhkan psikoterapi yang tidak hanya mengatasi penyalahgunaan zat, namun secara khusus juga menangani rasa trauma.

Untuk meyakinkan bahwa para tahanan perempuan memiliki akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan mental, pelayanan dan perawatan kesehatan mental yang layak serta peka terhadap jender (gender-sensitive) harus diterapkan. Orang dengan gangguan kesehatan mental seharusnya memiliki akses terhadap pengarahan, perawatan, dan jika perlu, rujukan sebagai bagian dari layanan kesehatan yang tersedia bagi para tahanan. Menurut Aturan Standar Minimum Perlakuan Narapidana PBB, Layanan kesehatan harus setara dengan yang tersedia di masyarakat umum.

Hal ini dapat dibentuk dengan upaya sbb:

  1. Mengadakan kunjungan rutin atau layanan kesehatan keliling, atau memungkinkan narapidana mengakses layanan kesehatan di luar lingkungan penjara, termasuk telehealth.
  2. Memastikan tersedianya dukungan psikososial dan obat-obatan psikotropika
  3. Memberikan pelatihan kepada staf untuk meningkatkan pemahaman staf, meningkatkan kesadaran tentang HAM, dan menantang sikap stigmatisasi.

Kesehatan Khusus Obat

Penggunaan narkotika adalah salah satu di antara jenis tindak kriminal yang lazim di Indonesia. Tahanan dengan jejak penggunaan narkotika cenderung memiliki gangguan penyakit penyerta (comorbid), seperti isu kesehatan mental (Enggist et al., 2014). Yang menjadi isu utamanya adalah para perempuan biasanya tidak memiliki akses untuk program penyembuhan dari narkotika, serta program-program ini tidak dirancang secara khusus untuk perempuan. Ini sangat penting untuk ditargetkan karena hukuman terkait narkoba tidak mengurangi penggunaan narkoba atau kejahatan terkait narkoba, tetapi malah meningkatkan populasi penjara.

Akses ke layanan Harm Reduction (pengurangan dampak buruk) merupakan langkah penting untuk mengurangi bahaya yang terkait dengan penggunaan narkoba. Namun, saat ini layanan harm reduction sangat terbatas sehingga penyakit menular menjadi dua hingga sepuluh kali lebih umum terjadi dibandingkan pada masyarakat umum. Menurut Harm Reduction International (2021), di tahun 2018 hanya ada 10 negara yang memiliki program penukaran jarum (Needle and Syringe Programmes) di setidaknnya satu penjara. Berdasarkan penelitian yang sama, hanya 54 negara menyediakan terapi substitusi opioid di penjara, dan penjara perempuan biasanya tidak memiliki akses untuk layanan serupa (Harm Reduction International, 2021).

Untuk memastikan akses yang lebih baik ke layanan kesehatan dan khusus obat-obatan bagi tahanan perempuan, diperlukan hal-hal berikut:

  1. Penyediaan layanan pengobatan ketergantungan napza bagi perempuan pengguna napza, termasuk opioid dan metamfetamin (sabu-sabu).
  2. Pelatihan bagi polisi dan staf penjara tentang intervensi kesehatan yang diperlukan bagi pengguna narkoba
  3. Akses yang mudah dan personal ke layanan harm reduction, termasuk obat-obatan steril dan peralatan suntik.

Zat-zat terlarang harus diakui di hadapan layanan kesehatan khusus narkoba di penjara. Menurut laporan, 56% tahanan terus menggunakan narkoba selama dipenjara (Wicaksana, 2020). Akibatnya, diperlukan akses yang nyaman dan terlindungi ke obat steril dan peralatan injeksi. Jarum suntik  yang bersih pun yang harus diberikan, agar mencegah perempuan dari berbagi jarum suntik dan mengurangi penyebaran HIV serta penyakit menular lainnya. Hal ini signifikan karena jumlah HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba suntik (penasun) di Indonesia diperkirakan antara 60 dan 98% pada tahun 2005 (Aceijas & Rhodes, 2007). Selain itu, bukti menunjukkan bahwa menyediakan kebutuhan dan jarum suntik mengurangi penularan HIV di penjara (Gatherer, 2007). Tanpa satu pun kasus yang dilaporkan, penjara-penjara ini juga berkontribusi terhadap keselamatan kerja.

Ada juga banyak bukti yang mendukung perawatan menggunakan obat substitusi atau pengganti. Sebagai contoh, Naloxone (opioid antagonist) telah digunakan dalam kemasan yang bisa dibawa pulang untuk mencegah kematian akibat overdosis di masyarakat selama 20 tahun terakhir (Lintzeris & Wilson, 2020). Bukti yang besar menunjukkan peningkatan hasil kesehatan fisik dan sosial dalam kaitannya dengan terapi substitusi opioid (OST) termasuk pengurangan tindak kejahatan dan pengurangan penyebaran virus melalui darah (Avert, 2019). Hal ini juga telah dikaitkan dengan pengurangan 54% HIV di antara kalangan penasun (UNAIDS, 2014).

Peningkatan Layanan Kesehatan Perempuan

Keperluan perawatan kesehatan khusus perempuan seringkali terabaikan di penjara karena lingkungan penjara yang tidak selalu memikirkan kebutuhan khusus perempuan. Tahanan perempuan memiliki kondisi dan kebutuhan kesehatan yang berbeda dengan tahanan laki-laki, selain itu mereka juga diketahui memiliki tingkat kekerasan fisik dan seksual yang lebih tinggi, masalah kesehatan mental, serta kertergantungan obat-obatan dan alkohol dibandingkan laki-laki.

Ini mungkin pertama kalinya para perempuan ini memiliki akses ke perawatan kesehatan, bantuan sosial, dan konseling. Akibatnya, kesadaran dan program pencegahan bagi perempuan di penjara sangat penting, dan perhatian khusus harus diberikan kepada berbagai kelompok perempuan dan kebutuhan unik mereka (Zoia, 2005). Tantangannya terletak pada penyediaan perawatan kesehatan yang komprehensif dalam pengaturan pemasyarakatan, di mana ada akses terbatas ke klinik kesehatan dan akses prioritas ke perawatan darurat.

Institusi yang berbeda dalam sistem peradilan pidana dapat membantu mengurangi kurangnya perawatan kesehatan berbasis gender dengan:

  1. Memberikan layanan kesehatan perempuan sebanding dengan yang tersedia di masyarakat, dipersonalisasi secara menyeluruh dan manusiawi.
  2. Investasi dalam pelatihan staf dan mengatasi kesenjangan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan layanan.
  3. Menyertakan pandangan, pendapat, dan umpan balik dari tahanan perempuan untuk ditinjau di masa mendatang.

Harapannya, dengan memperhatikan serta mempedulikan hak terhadap layanan kesehatan bagi tahanan perempuan, maka kita juga bisa mengurangi dampak buruk lain yang sudah disebutkan di atas. Nah, bagaimana menurut Sahabat? Kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan ini?

Artikel ini ditulis oleh Mahasiswa Magang dari Universitas UNSW dalam program kerjasama Magang Yayasan Anak Bangsa Merajut Harapan (Yayasan Angsamerah) dan The Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies (ACICIS), Hannah Mendoza

Artikel Terkait

Kanker dan Kesehatan Mental

Lupa di Usia Muda

Nomophobia, Adiksi Telpon Pintar

Sering Lupa? Hati-hati Alzheimer

Bahagia & Percaya Diri

Semuanya Ada di Otak Lewat Sang Pemancar Saraf

Stockholm Syndrome

Previous
Next

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.