Zaman sekarang, apotek bisa jauh lebih ramai ketimbang tempat praktek dokter umum. Dengan begitu mudahnya akses terhadap informasi mengenai obat, orang yang semakin skeptis dengan profesi dokter pun memilih cara yang lebih mudah. Menghabiskan sejenak waktu di hadapan layar untuk bertanya pada mesin pencari dunia maya, dan dalam sekejap menemukan obat apa yang harus dibeli di apotek demi mengatasi keluhan terkait kesehatannya.
Bila datang ke dokter mungkin butuh waktu yang lumayan, mulai dari antri, ditanya-tanya dengan pertanyaan yang mungkin itu-itu saja, dan kemudian masih harus menunggu menebus resep, wajar bila orang memilih cara yang lebih praktis. Datang ke apotek dan langsung saja beli obatnya sesuai petunjuk dari internet. Apa sih bahayanya langsung beli obat sendiri? Toh obatnya juga paling akan sama dengan yang dokter resepkan…
Masalah muncul ketika obat dikonsumsi secara bebas, tidak mengikuti aturan pakainya. Bayangkan, kita membeli mainan mobil-mobilan untuk anak saja ada lembar khusus yang menuliskan cara mulai dari merakit hingga memainkan, begitu pun dengan obat. Konsumsinya harus mengikuti cara tertentu agar efek yang diinginkan dapat tercapai dan bukannya malah meracuni diri sendiri.
Seperti segala hal yang ada di dunia, obat juga mengalami interaksi. Tak hanya dengan sesama obat tapi juga dengan kondisi lingkungan fisik, di luar dan di dalam tubuh manusia yang mengonsumsinya. Interaksi obat tampak sebagai suatu perubahan efek obat yang muncul jika obat bertemu dengan obat lain, makanan, atau minuman, ketika diberi baik bersamaan maupun tidak. Perubahan ini ada yang bermakna secara klinis, meski tak selalu demikian.
Perubahan yang timbul tak selamanya merugikan. Ada juga yang interaksi obat yang menguntungkan. Contoh efek klinis yang menguntungkan akibat interaksi obat adalah beberapa obat yang sengaja diberikan dalam bentuk kombinasi karena akan meningkatkan efeknya. Seperti pemberian obat TB (tuberkulosis) yang mampu memperlambat timbulnya resistensi kuman terhadap obat yang bersangkutan.
Sementara efek buruk yang bisa terjadi akibat interaksi obat misalnya pemberian obat yang dicampur malah bisa membuat obat menjadi inaktif dan kehilangan fungsinya. Inaktivasi ini biasanya terjadi di luar tubuh, yakni saat proses persiapan pemberian obat. Nah, saat masuk ke dalam tubuh obat juga bisa mengalami interaksi misalnya di saluran cerna. Pemberian antibiotik tertentu yang bersamaan dengan suplemen mineral dapat membentuk ikatan sehingga obat tidak dapat diserap oleh tubuh. Maka dalam pemberiannya perlu diatur jarak minimal 2 jam agar obat bisa berfungsi.
Contoh lain misalnya, konsumsi obat maag yang berbarengan dengan obat tertentu. Obat maag dapat mengganggu penyerapan obat anti nyeri, anti jamur, dan antibiotik. Kalau sudah begini, obat akan sulit mencapai konsentrasi yang diperlukan tubuh supaya menimbulkan efek. Hilanglah manfaat dari minum obat.
Seperti sudah disebutkan di atas, bahwa interaksi tak hanya terjdi antara obat dengan obat saja, tapi bisa dengan pemberian makanan dan minuman. Yang cukup populer adalah jus anggur yang mampu menurunkan kadar ketersediaan obat anti alergi feksofenadin (di Indonesia untuk obat yang sekelas orang lebih mengenal cetirizine). Maka amat tidak disarankan mengonsumsi obat menggunakan jus buah karena sifatnya yang kompetitif dengan obat. Usahakan untuk minum obat dengan air putih saja.
Penting juga untuk mengingat bahwa tidak semua obat yang dijual bebas itu aman untuk semua orang. Orang yang lanjut usia, atau yang memiliki riwayat sakit kronis sangat perlu dipertimbangkan kemampuan tubuhnya dalam memroses obat yang dimasukkan. Kalau dokter saja harus berpikir seribu satu kali saat menuliskan resep demi mencegah interaksi obat dan mengoptimalkan efeknya bagi pasien, mungkin saatnya pula bagi konsumen untuk sedikit lebih awas dalam memperhatikan apa yang kita masukkan dalam tubuh. Dan tak lupa mempertimbangkan pula cara memasukkannya.