Banyak pengertian umum tentang politik. Begitu juga pakem-pakem maupun fatsun politik yang ada dan berkembang dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Termasuk di dalamnya adalah tentang politik kesehatan.
Mungkin masih banyak yang kurang tahu atau menolak keterkaitan antara kesehatan dan politik. Akan tetapi dalam kenyataannya politik kesehatan telah dipraktekkan dan terus dimainkan oleh banyak aktor-aktor politik. Pengertian politik kesehatan adalah suatu ilmu atau cara yang dipakai dengan tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui suatu sistem ketatanegaraan yang berlaku di suatu tempat atau suatu negara, demi terciptanya masyarakat dan lingkungan yang sehat.
Nah, untuk mencapai hal tersebut maka diperlukanlah suatu alat untuk digunakan sebagai suatu instrumen kebijakan, alat tersebut tak lain dan tak bukan adalah kekuasaan. Jadi jelaslah bahwa kekuasaan adalah hal utama dalam membuat aturan-aturan yang akan dijalankan dalam usaha pencapaian tujuan masyarakat dan lingkungan yang sehat dan sejahtera.
Berbagai cara digunakan oleh aktor-aktor politik kesehatan tersebut, mulai dari masuk ke dalam pemerintahan yang berkuasa, masuk ke dalam organisasi bentukan resmi pemerintah atau organisasi di luar pemerintah, dimana wadah tersebut terkait langsung dengan sistem tata kelola kesehatan di suatu negara.
Adapun di Indonesia, hal ini jelas nampak terlihat dalam Kementerian kesehatan, Suku Dinas dan Dinas Kesehatan mulai dari provinsi sampai kabupaten/kota. Termasuk juga RS Pemerintah dan Swasta serta organisasi-organisasi profesi dan seminat. Saat ini juga mulai ditambah dengan munculnya gerakan-gerakan moral yang mengatasnamakan profesi atau kelompok yang suaranya tidak tertampung atau mereka terpinggirkan oleh yang sudah ada. Belum lagi berbagai lembaga swadaya masyarakat yang banyak sekali macamnya, yang berdalih menyuarakan dan membela masyarakat korban kebijakan kesehatan ataupun korban pelayanan kesehatan.
Semua hal tersebut tidak ada yang salah. Itulah bukti bahwa politik kesehatan itu ada dan nyata di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita saat ini. Kue manis kesehatan itu memang banyak diperebutkan, baik oleh para pembuat kebijakan, elite praktisi kesehatan, pemilik modal sarana kesehatan bahkan pula tidak bisa dilepaskan oleh perusahaan farmasi dan alat kesehatan juga oleh asuransi, baik swasta maupun miliknya pemerintah termasuk BPJS Kesehatan.
Tapi sayang, saking berebutannya mereka, remah-remahannya bahkan ampasnyalah yang sering dirasakan oleh masyarakat yang tidak mampu. Jika ada masalah, selain rakyat menjadi korban juga yang sering menjadi kambing hitam adalah para ujung tombak pelayanan kesehatan, seperti dokter, bidan dan perawat puskesmas yang merupakan sub-ordinat terendah dalam struktur sistem kesehatan itu sendiri.
Jadi, politik kesehatan yang baik haruslah politik kesehatan yang bermartabat dan berbudi luhur serta dilandasi dengan niat yang tulus dan penuh kejujuran. Seorang pengambil kebijakan tertinggi di bidang kesehatan jika hanya mengejar pamor, ketenaran dan jabatan tetapi melupakan keseimbangan, maka perubahan menuju derajat kesehatan yang makin baik pasti tidak akan terwujud.
Keseimbangan yang dimaksud di sini adalah keseimbangan yang pro-rakyat dan bersamaan dengan itu juga pro-tenaga kesehatan. Jadi baik rakyat dan tenaga kesehatan, kedua-duanya harus diperhatikan secara bersama-sama. Jangan hanya demi menarik simpati rakyat, tenaga kesehatan tidak diberikan gaji yang sesuai dengan tugas profesional mereka. Karena tenaga kesehatan yang digaji dengan standar rendah, maka sulit bagi kita mengharapkan pekerjaan mereka dengan standar yang tinggi, ujung-ujungnya rakyat jugalah yang merasakan hasilnya.
Langkah awal dan utama untuk memperbaiki adalah kembali lagi kita melakukan evaluasi dan pemetaan. Tanpa melakukan pemetaan terhadap karakteristik sosio-demografi, sarana-prasarana dan petugas kesehatan yang tersedia, niscaya pemerataan cakupan pelayanan kesehatan di negara kita ini bagaikan mimpi di siang bolong.
Buat para pengambil keputusan dalam sistem politik kesehatan di negara kita ini. Baik pemerintah pusat melalui kementerian kesehatan maupun pemerintah daerah dengan dinas kesehatannya, marilah kita melakukan politik etis kesehatan dengan tidak memulainya dengan “peperangan”, akan tetapi mengobarkan semangat kebersamaan dan kegotong-royongan.
Sudah terbukti, segala ancaman, tekanan dan pemaksaan hanya akan menciptakan perlawanan dan pemberontakan. Namun, pendekatan yang welas asih dan penuh kebersamaan akan membuka ruang penghormatan, sehingga niscaya akan menggerakkan semangat pengabdian dan peran serta dari seluruh komponen yang dibutuhkan dalam upaya kita meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan tenaga kesehatan di Republik tercinta kita ini.