Asti Widihastuti, seorang dokter, praktisi, dan konsultan yang ramah gender, memiliki keahlian dalam pelatihan dan fasilitasi berbagai isu pembangunan, dengan spesialisasi pada sektor kesehatan masyarakat, kesehatan reproduksi dan HI, seksualitas serta gender.
Master of Health Counseling dari Curtin University of Technology, Perth – Western Australia, ini dengan berbagai pengalaman kerja dan kompetensinya, memiliki ketrampilan tehnik konseling yang terasah dalam bidang konseling kesehatan seksual dan reproduksi. Ini termasuk konseling perencanaan keluarga/pernikahan, konseling relasi, konseling duka dan kehilangan, konseling HIV, konseling penerimaan diri, konseling paska keguguran dan dukungan untuk kelompok Queer.
Ia juga mempunyai pengetahuan dan ketrampilan teknis mengenai pemberian bantuan teknis pada penguatan organisasi, manajemen proyek, komunikasi interpersonal dan soft skill untuk kepemimpinan, pengelolaan stress dan burnout, serta perawatan diri (self- care) bagi pekerja profesional, hingga evaluasi.
Kombinasi latar belakang pendidikan, passion, dan pengalaman kerja bertahun-tahun ini membuat Asti memiliki rangkaian pengetahuan dan ketrampilan teknis dan strategis sebagai seorang pelatih, fasilitator, mentor dan coach. Asti memiliki keahlian mengembangkan kurikulum pelatihan termasuk sesi-sesi mentoring dan coaching; mengembangkan alat-alat untuk assessment dan evaluasi; menulis modul dan panduan pelatihan; serta sebagai editor untuk buku-buku panduan dan media komunikasi, informasi dan edukasi lainnya.
Dan dengan pengalamannya yang lebih dari lima belas (15) tahun dalam mengembangkan program-program kesehatan masyarakat di isu Kesehatan Seksual dan Reproduksi di Indonesia. Dr. Asti telah bekerja dengan berbagai organisasi, mulai dari:
- Organisasi multilateral (UNFPA, UNICEF dan UNODC);
- Proyek bilateral (HCPI, SUM II, DERAP, KINERJA, AIPEID);
- Badan-badan kesehatan pemerintah nasional (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Indonesia / KPAN);
- Kementerian Negara Indonesia (Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian);
- Lembaga riset dan Evaluasi (Solidaritas, Pusat Penelitian HIV Atmajaya, Pusat Studi TB Universitas Padjajaran, Circle Indonesia);
- Organisasi non pemerintah internasional (Result in Health, Burnet Institute, Aidsfond);
- Organisasi non pemerintah nasional dan lokal (Indonesia Planned Parenthood Association / PKBI, Yayasan Spiritia, Yayasan Kerthi Praja, IPAS Indonesia, Yayasan Cipta Cara Padu, Yayasan Kryasta Guna / Bali Spirit Festival, Yayasan Gaya Dewata);
- Organisasi non pemerintah lainnya seperti Nahdlatul Ulama dan Aisyiyah.
Tidak hanya itu, Dr. Asti juga memiliki pengalaman dalam bekerja dengan berbagai jaringan, seperti pada:
- Tingkat regional (Island of Southeast Asia Network on Male and Transgender Sexual Health / ISEAN, Jaringan Pekerja Seks Asia Pasifik/ APNSW dan Koalisi Asia Pasifik tentang Kesehatan Seksual Laki-laki / APCOM), dan
- Tingkat nasional di Indonesia (termasuk jaringan khusus HIV seperti GWL INA, OPSI, IPPI, Inti Muda dan PKNI, serta jaringan nasional lainnya (Aliansi Laki-laki Baru, Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas Indonesia).
Dengan minat kuatnya pada penelitian dan pelatihan, Dr. Asti juga telah bekerja sama dengan berbagai akademisi, termasuk; Universitas Katolik Atma Jaya-Jakarta, Universitas Udayana-Denpasar, Universitas Brawijaya-Malang, dan STKIP Muhammadiyah-Sorong.
Ada juga berbagai kelompok penerima manfaat khusus yang telah dr. Asti tangani, seperti perempuan yang membutuhkan layanan aborsi yang aman, populasi kunci yang terkena dampak HIV (pekerja seks, Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, transgender, orang yang menggunakan narkoba, dan orang yang hidup dengan HIV), orang muda, siswa (tingkat sekolah menengah dan universitas), guru dan dosen, penyandang disabilitas, tokoh agama, tokoh masyarakat/budaya dan Perempuan Papua.
Dengan pengalamannya bekerja dengan bidan, dokter, perawat, kader kesehatan dan dokter hewan, dan kelompok-kelompok tersebut, memungkinkan Dr. Asti untuk bekerja dalam konteks multikultural, dapat memperoleh perspektif baru yang berbeda, mengembangkan serangkaian keterampilan teknis, hingga membangun empati yang kuat kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan rentan.