Tulisan kali ini terinspirasi oleh film yang saya tonton ketika berada di pesawat untuk sebuah perjalanan dinas. Film yang berjudul “Date Night” itu bercerita tentang pasangan suami-istri yang merasa kehidupan perkawinan mereka membosankan. Dengan 2 anak yang masih kecil, tugas rumah tangga menumpuk, belum lagi ketambahan pekerjaan kantor dan kehidupan sosial yang monoton, pasangan ini ingin ada greget kembali dalam percintaan.
Hal serupa mungkin juga menjadi masalah banyak orang di kehidupan nyata. Masa pacaran yang terasa berapi-api, berganti kebahagiaan yang hangat saat mengawali perkawinan, dan kemudian menjadi rutinitas yang membosankan dengan hadirnya segala konsekuensi berumah tangga. Seks, sebagai salah satu elemen penting dalam perkawinan, tak lagi mendapat perhatian.
Selain mungkin karena beban mengurus rumah tangga yang menguras seluruh energi, seks menjadi terabaikan juga karena rasa bosan terhadap pasangan. Seks dirasa hanya sebagai rutinitas, bukan lagi aktifitas yang menimbulkan gairah.
Bosan adalah hal yang wajar, tak memandang betapa sempurnanya Anda tercipta untuk satu sama lain, atau betapa bahagianya perkawinan Anda, rasa bosan pasti menghampiri pada suatu saat. Yang harus diingat, masing-masing orang adalah pribadi yang berbeda setiap harinya, setiap bulannya, bahkan setiap tahunnya. Artinya, kita tidaklah selalu sama. Perkawinan yang sehat hendaknya memungkinkan pasangan untuk tumbuh dan berkembang bersama, bukan berdiam sebagai pribadi yang sama selama berpuluh tahun.
Sebuah perkawinan semakin sehat bila masing-masing pasangan dapat menghargai perubahan yang dialami pasangannya. Hal ini nampak dari pola komunikasi yang senantiasa berubah menyesuaikan dengan perubahan individu. Termasuk juga perubahan dalam melakukan hubungan seks.
Bagi wanita, seiring waktu, seks dalam perkawinan bukanlah suatu kenikmatan, melainkan kewajiban untuk menyenangkan suami. Sementara suami menganggap seks adalah pelepas stres. Perbedaan pandangan macam inilah yang membuat ketidak nikmatan dalam bercinta.
Dalam film yang saya tonton pun tergambar betapa kedua insan ini dapat bercanda dan bicara tentang apapun dengan sangat nyaman, akan tetapi ketika disinggung masalah seks, keadaan berubah menjadi canggung atau berujung pertengkaran.
Kenapa? Inilah konstruksi sosial yang menghambat seseorang untuk menghargai seksualitasnya. Bahwa dalam masyarakat seorang wanita dianggap baik melulu dari ketekunannya mengasuh anak dan mengerjakan tugas domestik, tidak memandang bahagia atau tidaknya ia dalam kehidupan seksualnya. Seks dalam perkawinan mestinya bukanlah sesuatu yang ditabukan, melainkan sesuatu yang penting dan diatas namakan kesehatan, baik fisik maupun mental.
Penting bagi pasangan suami istri untuk bisa membicarakan tentang kehidupan seksnya dengan rasa nyaman.
Untuk kebanyakan wanita, semakin ia merasa aman dan nyaman dengan pasangannya, maka sesungguhnya ia semakin luwes untuk diajak berkreasi dalam melakukan hubungan seks. Hal ini kemudian berimbas pada pasangan pria yang menjadi lebih cinta kepadanya, karena pria butuh dipuaskan dengan berbagai variasi, terutama variasi secara visual.
Sebagai suami, buatlah pasangan Anda merasa aman dan nyaman dengan diri Anda, dan bukan menuntut seks sebagai kewajiban seorang istri dalam memuaskan suaminya.
Kunci bagi keluarga yang sehat adalah perkawinan yang sehat. Dan hal ini diawali dari pola komunikasi yang sehat, termasuk mampu membicarakan kehidupan seks tanpa ada rasa terbebani bagi masing-masing pihak.
Seks dalam Perkawinan (bagian 1)
Seks dalam Perkawinan: Tips Meningkatkan Kualitas Seks Perkawinan” (bagian 2)