Kelanjutan tragedi peredaran vaksin palsu semakin membara saja. Sejumlah pembuat vaksin palsu yang konon ada mantan apoteker dan perawat telah ditangkap, sejumlah dokter dan bidan juga ditangkap. Sejumlah Rumah Sakit dan klinik juga terlibat. Tetapi yang lebih menyedihkan sekaligus menyesak dada adalah kekerasan fisik yang dilakukan salah satu orangtua korban terhadap seorang dokter direktur sebuah RS di Jakarta.
Membaca berita itu, muncul pertanyaan di benak saya, apakah dokter itu memang tergolong penjahat dalam kasus vaksin palsu ini? Andaikata dokter itu memang tergolong penjahat, tetap saja pemukulan itu salah secara hukum. Dokter itu seharusnya menuntut pelaku pemukulan secara hukum.
Lalu siapakah sebenarnya yang patut disebut penjahat dalam kasus vaksin palsu dan kejahatan lain di bidang kesehatan? Kalau seorang dokter tahu bahwa vaksin atau produk lain palsu, tetapi tetap menggunakan untuk pasiennya, itu dokter jelas melanggar hukum. Dia layak disebut penjahat di bidang kesehatan, dan karena itu patut dihukum sesuai peraturan yang berlaku.
Tetapi bukankah dokter mendapat vaksin itu atau produk obat lain karena membeli melalui apotek? Bukankah pengadaan obat bukan wewenang dokter, melainkan wewenang apotek, baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit? Jadi apoteker harus bertanggungjawab apakah produk obat dan produk kesehatan lain yang dibelinya palsu atau tidak.
Pembuat vaksin palsu adalah penjahat
Para apoteker dan pihak lainnya yang terlibat membuat vaksin palsu tentu layak disebut penjahat di bidang kesehatan. Mengapa? Karena dengan sengaja mereka membuat vaksin palsu dan mengedarkan untuk digunakan bagi masyarakat luas. Untuk para pembuat, saya pikir tidak ada seorang pun yang berani mengatakan mereka bukan penjahat.
Tetapi ternyata sudah 13 tahun vaksin palsu beredar dan pasti sudah sekian banyak anak yang menerima tanpa manfaat dan menanggung kerugian materi.
Mengapa mereka bisa leluasa sekian lama memroduksi vaksin palsu, seolah tidak tersentuh tangan penegak hukum? Apakah mereka memiliki izin produksi?
Kalau mereka tidak memiliki izin produksi, jelaslah mereka penjahat sejati. Tetapi kalau ternyata mereka memiliki izin produksi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), namun memroduksi obat palsu, tidakkah BPOM sebagai pemberi izin juga tergolong penjahat karena sekian lama membiarkan produk palsu itu? Tetapi tentu saja BPOM tidak ikut bertanggungjawab kalau ternyata vaksin palsu itu tidak mendapatkan izin edar alias ilegal.
Lalu di mana tanggungjawab Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan? Mengapa vaksin palsu dengan bebas merdeka selama 13 tahun diedarkan di Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan lain yang berizin resmi?
Penjahat herbal abal-abal
Sama dengan vaksin palsu, yang 13 tahun beredar dengan tenang, produksi dan peredaran obat herbal abal-abal bahkan lebih lama lagi beredar di republik ini. Siapakah yang layak disebut penjahatnya? Produsen ataukah pemberi izinnya? Sekian banyak produk herbal abal-abal diproduksi dan beredar dengan izin BPOM, tetapi sekian banyak pula yang kemudian ditarik karena ternyata mengandung bahan kimia berbahaya.
Celakanya, BPOM selalu melakukan kesalahan yang sama dengan memberi izin produk herbal abal-abal baru, yang kemudian ditarik kembali karena mengandung bahan kimia berbahaya. Banyak contoh mengenai jamu abal-abal tipuan begini. Bukan rahasia lagi kalau obat herbal untuk sakit tulang dicampur bahan obat prednison yang tidak aman bagi tubuh. Bukan aneh kalau jamu kurus dicampur sibutramin yang sudah dilarang digunakan. Demikian juga jamu untuk “seks pria” yang dicampur bahan PDE-5 inhibitor.
Di mana tanggungjawab BPOM sebagai lembaga negara?
Tidakkah masyarakat berpikir sudah berapa banyak korban yang jatuh akibat campuran bahan kimia berbahaya yang mencemari tubuh? Apakah penjual jamu abal-abal juga tergolong penjahat kalau tidak mengetahui herbal itu dicampur bahan kimia berbahaya?
Lalu ada pula, bahkan banyak pengobatan alternatif abal-abal yang beriklan dapat membesarkan ukuran penis dan menyembuhkan segala macam kanker. Siapa atau institusi mana yang bertanggungjawab? Bukankah pemberi izin pengobatan abal-abal itu juga harus bertanggungjawab dan layak disebut penjahat?
Di mana tanggungjawab Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan ketika membaca iklan pengobatan yang jelas mengandung penipuan seperti itu?
Mengapa dibiarkan liar begitu saja? Apakah dapat dianggap sebagai penjahat juga karena membiarkan kejahatan dalam kesehatan?
Terasa aneh juga, mengapa masyarakat yang dirugikan tidak marah kepada pelaku pengobatan abal-abal itu? Mengapa tidak bersikap ganas seperti ketika memukul dokter itu?
Kalau ditarik lebih jauh, kita masuk ke pemberian izin iklan bidang kesehatan di media, khususnya televisi. Siapa yang memberi izin iklan bohong seperti itu terus bergentayangan di sejumlah TV, nasional dan lokal? Apakah pejabat pemberi izin juga tergolong penjahat karena membiarkan penipuan melalui iklan bohong?
Penjahat obat palsu
Selama ini beredar luas berita tentang obat palsu. Kalau tanya ke warga Jakarta, di mana tempat penjualan obat palsu, apalagi dengan harga murah, pada umumnya mereka akan memberikan jawaban yang sama. Artinya peredaran obat palsu bukan rahasia lagi, dan bukan berita baru. Siapa penjahatnya? Ya tentu pembuatnya, dan juga penjualnya.
Tetapi mengapa BPOM membiarkan saja dan tidak bertanggungjawab? Apakah oknum atau pihak BPOM dapat dianggap juga sebagai penjahat obat palsu? Lebih aneh lagi, ternyata masyarakat tidak marah, bahkan sebaliknya membeli di tempat itu karena harganya murah.
Harapan kepada penegak hukum
Kita semua percaya kepada kerja profesional dan jujur para penegak hukum. Siapa yang patut disebut penjahat dalam kasus vaksin palsu, kita serahkan kepada para penegak hukum agar mereka mendapat hukuman yang adil. Tetapi bagi pihak yang bukan sebagai penjahat, tentu kita meminta agar mereka dibebaskan dari tuntutan hukum.
Momentum memberantas penjahat vaksin palsu, seharusnya dijadikan momentum untuk memberantas semua penjahat di bidang kesehatan, seperti diuraikan di atas. Cukuplah sudah masyarakat kita menanggung akibat buruk ulah para penjahat di bidang kesehatan itu.