Terapi Pencegahan Tuberkulosis

Tuberkulosis (TBC) masih menjadi masalah kesehatan dan menempati peringkat 10 teratas penyebab kematian di dunia. Menurut Global Tuberculosis Report 2021, sekitar 1,3 juta orang tanpa HIV dan 214.000 orang dengan HIV (ODHIV) meninggal karena sakit TBC pada tahun 2020.

Studi pemodelan yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa target eliminasi TBC pada tahun 2030 dapat dicapai dengan mengkombinasikan upaya pengobatan sakit TBC dan pemberian terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) pada populasi dengan infeksi laten tuberkulosis (ILTB). Pada tahun 2019, di Indonesia diperkirakan sekitar 1,7 juta kasus ILTB yang berkontak dengan kasus TBC aktif dan populasi berisiko lainnya (Juknis Penanganan ILTB, 2020). Pemberian TPT pada populasi dengan ILTB akan mengurangi risiko terjadinya TBC aktif sehingga turut pula mengurangi insiden TBC.

Kementerian Kesehatan RI telah memulai pemberian TPT di Indonesia sejak 2016 dengan kelompok sasaran utama bagi populasi risiko tinggi yaitu kontak serumah anak usia <5 tahun dari pasien TBC yang terkonfirmasi secara bakteriologis dan ODHIV menggunakan paduan isoniazid yang dikonsumsi setiap hari selama 6 bulan (6H). Saat ini Kemenkes RI bersama dengan Yayasan KNCV Indonesia (YKI) sejak tahun 2020 mulai memperluas pemberian TPT menggunakan paduan jangka pendek, yaitu paduan 3HP (isoniazid dan rifapentin) yang dikonsumsi 1 kali seminggu selama 12 minggu bagi kontak serumah dan ODHIV di Indonesia.

Penggunaan bersama TPT dan terapi antiretroviral (ART) pada ODHIV bermanfaat secara signifikan dalam menurunkan penyakit TBC. Dengan perluasan akses ART, penggunaan TPT pada ODHIV akan meningkatkan pencegahan TBC di negara dengan beban TBC tinggi.

Apakah TPT dapat Meningkatkan Risiko Resistensi Kuman TBC?

Tidak. TPT tidak meningkatkan risiko resistansi dari kuman TBC, hal ini adalah mitos yang menghambat program pencegahan TBC dan individu untuk mengakses TPT. Studi-studi yang telah dilakukan tidak menemukan bukti ilmiah yang berkaitan antara resistansi Obat Anti TBC (OAT) dan penggunaan isoniazid atau golongan rifamisin untuk TPT.

Individu dengan infeksi TBC hanya memiliki bakteri dalam jumlah kecil yang bereplikasi secara lambat di dalam paru. Bakteri “tersembunyi” dalam jumlah kecil ini memiliki risiko yang kecil untuk menyebabkan terjadinya resistansi OAT. Sebagian besar kasus resistansi OAT terjadi akibat pengobatan TBC aktif yang kurang optimal, oleh karena itu mencegah berkembangnya infeksi TBC menjadi TBC aktif dapat mencegah terjadinya resistansi OAT secara keseluruhan.

Apakah yang dimaksud dengan TPT 3HP?

Paduan 3HP adalah paduan TPT jangka pendek yang telah direkomendasikan oleh WHO. Obat ini merupakan salah satu antibiotik yang digunakan sebagai OAT. Paduan ini merupakan kombinasi antara isoniazid (H) dan rifapentin (P) yang dikonsumsi seminggu sekali selama 12 minggu (±3 bulan).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa TPT 3HP memiliki efektivitas yang sama dengan TPT 6H untuk mencegah berkembangnya ILTB menjadi sakit TBC. Beberapa studi penelitian telah menunjukkan bahwa 3HP memiliki toksisitas terhadap liver yang lebih rendah dibandingkan 6H, dan orang yang menjalani TPT jangka pendek dengan 3HP lebih patuh dalam menyelesaikan TPT daripada orang dengan paduan isoniazid selama 6 bulan (6H).

Siapa saja yang bisa mendapatkan TPT 3HP?

TPT 3HP dapat diberikan bagi kontak serumah dan ODHIV dengan tanpa adanya TBC aktif pada usia ≥ 2 tahun. TPT 3HP tidak dapat diberikan (kontra indikasi) pada keadaan yaitu:

  • Umur < 2 tahun
  • Hepatitis aktif (akut atau kronis)
  • ALT/AST > 3x batas atas normal (terlepas dari gejala)
  • Konsumsi alkohol rutin dan berat
  • Neuropati Perifer
  • Wanita usia subur yang tidak menggunakan kontrasepsi apapun
  • Ibu hamil atau menyusui
  • Sedang menjalani terapi antiretroviral (ART) berbasis protease inhibitor, seperti Lopinavir, Ritonavir, Tipranavir, Atazanavir, Darunavir dan Fosamprenavir

Individu yang berisiko mengalami neuropati perifer harus diberikan suplemen vitamin B6 (piridoksin) bersamaan dengan 3HP, namun jika tidak tersedia vitamin B6 seharusnya tidak menunda untuk memulai TPT dengan 3HP.

Bagaimana cara pemberian TPT 3HP?

Dokter harus memilih cara pemberian, baik diamati secara langsung atau dilakukan sendiri berdasarkan yang berlaku di daerah tersebut, karakteristik individu dan preferensi, serta pertimbangan lainnya, termasuk risiko berkembang menjadi penyakit TBC aktif yang berat seperti TBC Millier, TBC Meningitis, dll.

Obat TPT 3HP dikonsumsi satu kali seminggu, sebaiknya pada waktu yang sama (pagi, siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan). Pada anak, rifapentin dapat dikonsumsi dengan cara dihancurkan dan dicampur dengan sedikit makanan, seperti bubur, puding, yoghurt, es krim dan makanan lain yang disukai anak, hal ini untuk mengatasi rasa pahit rifapentin. Namun rifapentin tidak boleh dikonsumsi bersamaan dengan buah atau makanan yang berbasis buah karena dapat mengganggu penyerapan obat.

Penanganan efek samping harus selalu berpedoman pada skrining TBC aktif, riwayat pernah TBC aktif, riwayat adanya efek samping, jenis permulaan dan durasi serta tingkat keparahan, dan pemeriksaan fisik yang relevan.

Sumber

Petunjuk Teknis Penanganan ILTB 2020

Artikel Terkait

BV? Apa sih itu?

Vitamin C

Duet Maut, TBC-HIV. Bisa Diatasi Lho!

Antara Makanan dan Anemia

Lupa di Usia Muda

Mengemudi + Mengantuk = NO!!!!

Previous
Next

Buat janji dokter sekarang

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.