Vaginismus Vs Dispareunia: Sebuah Kisah Tentang Pertama Kali

Bercinta yang pertama selalu dihiasi dengan rasa penasaran, momen yang menggema menjadi kenangan tak terlupakan. Dalam remang cahaya, dua jiwa bersatu, menjalin ikatan yang lebih dalam dari sekadar tatapan mata. Namun, bagi beberapa perempuan, momen yang seharusnya penuh cinta dan keintiman ini berubah menjadi perjalanan penuh rasa sakit dan ketidakpastian. Di persimpangan pengalaman pertama itu, seringkali kita menemukan dua kata yang tak pernah diinginkan: vaginismus dan dispareunia.

Vaginismus, bagaikan bayangan yang tak terlihat, datang tanpa peringatan. Saat jiwa mencoba membuka hati kepada kekasih, tubuh justru menutup pintu rapat-rapat. Saat ia mendekat, tubuh merespons dengan ketegangan yang luar biasa. Rasanya seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan kekasih kita. Setiap kali dirinya mencoba, tubuh merasakan nyeri yang menusuk. Sering kali, bercinta yang pertama acap kali berakhir dengan air mata dan kebingungan.

Banyak perempuan menghadapi ketakutan yang sama. Vaginismus bukanlah tentang keengganan atau kurangnya cinta, melainkan kontraksi otot-otot di sekitar vagina yang tak terkendali, seolah-olah tubuh berbisik, “tunggu dulu, ada sesuatu yang belum siap.” Kondisi ini sering kali berakar dari campuran faktor fisik dan psikologis. Trauma masa lalu, ketakutan akan rasa sakit, atau pengalaman seksual yang negatif bisa menciptakan respons fisiologis yang membuat otot-otot di sekitar vagina berkontraksi dengan kuat.

Secara saintifik, vaginismus bisa dijelaskan melalui mekanisme refleks pelindung yang dipicu oleh rasa takut atau cemas. Ketika perempuan merasa cemas atau takut, sistem saraf simpatik diaktifkan, menyebabkan otot-otot dasar panggul mengencang sebagai respons defensif. Seiring waktu, jika tidak diatasi, refleks ini dapat menjadi lebih kuat dan lebih sulit untuk diubah.

Vaginismus dapat dibagi menjadi dua jenis: vaginismus primer dan vaginismus sekunder. Vaginismus primer terjadi ketika seorang perempuan tidak pernah mampu melakukan penetrasi vaginal tanpa rasa sakit sejak awal aktivitas seksualnya. Vaginismus ini sering dikaitkan dengan rasa takut yang mendalam atau trauma seksual di masa lalu. Namun, pada umumnya, hampir semua perempuan merasakan vaginismus primer. Vaginismus primer dapat terjadi selama bercinta pertama kali dan dapat menghilang ketika tubuh sudah terbiasa dan merasa lebih nyaman dalam situasi intim. Dengan kata lain, seiring dengan bertambahnya pengalaman dan kenyamanan dalam hubungan seksual, tubuh perempuan mungkin belajar untuk rileks, dan kontraksi otot yang tidak terkendali tersebut bisa berkurang atau bahkan hilang sama sekali.

Baca juga: Pejuang Vaginismus

Sementara itu, vaginismus sekunder berkembang setelah periode di mana hubungan seksual sebelumnya tidak menimbulkan masalah. Ini mungkin disebabkan oleh peristiwa traumatis, operasi, atau kondisi medis yang baru muncul, mengubah pengalaman seksual yang sebelumnya tidak menyakitkan menjadi sesuatu yang menakutkan.

Tidak hanya Vaginismus, namun mari kita berkenalan juga dengan Maria dan dispareunia. Kali ini, Maria penuh harap menyambut malam pertamanya. Saat itu, dengan sentuhan lembut dan pelukan hangat, semuanya terasa begitu benar. Namun, ketika penetrasi dimulai, rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak. “Rasanya seperti duri yang menusuk. Kami mencoba berulang kali, namun rasa sakit itu tetap ada. Setelahnya, aku merasa nyeri yang menyiksa selama berhari-hari. Aku bertanya-tanya, apa yang salah dengan tubuhku?” ujar Maria bercerita.

Dispareunia adalah mimpi buruk yang bersembunyi di balik keindahan cinta. Rasa sakit yang dirasakan Maria adalah cermin dari dispareunia, di mana nyeri muncul selama atau setelah hubungan seksual. Penyebab dispareunia bisa sangat beragam, mulai dari faktor fisik hingga psikologis. Infeksi saluran reproduksi, endometriosis, atau kondisi kulit seperti lichen sclerosus dapat menyebabkan nyeri saat berhubungan seksual. Selain itu, faktor emosional seperti stres, kecemasan, atau trauma seksual juga dapat berperan.

Dispareunia dapat dibagi menjadi dua jenis utama: dispareunia superfisial dan dispareunia dalam. Dispareunia superfisial terjadi di sekitar pintu masuk vagina dan biasanya disebabkan oleh infeksi, iritasi, atau masalah kulit. Sementara dispareunia dalam terjadi lebih jauh di dalam vagina dan sering kali berhubungan dengan kondisi medis seperti endometriosis atau penyakit radang panggul.

Dalam sanggama cinta yang ideal, tak seharusnya ada ruang untuk rasa sakit. Namun, vaginismus dan dispareunia menyelinap masuk, menggantikan keindahan dengan penderitaan. Bagi Sari dan Maya, dan perempuan lainnya, perjalanan ini bukanlah akhir dari cerita mereka. Ini adalah awal dari pencarian pemahaman dan penyembuhan.

Dokter, psikolog klinis dan petugas medis lainnya menjadi pemandu dalam kegelapan ini, menawarkan harapan dan solusi. Dengan terapi fisik, latihan relaksasi, dan komunikasi yang jujur dengan pasangan, mereka mulai menemukan cahaya di ujung lorong. Vaginismus dapat kita bantu atasi dengan melakukan latihan relaksasi, seperti teknik pernapasan dan penggunaan dilator vagina dan terapi fisik pada otot dasar panggul, pelan-pelan belajar mengendalikan tubuhnya sendiri. Terapi kognitif perilaku (CBT) juga dapat membantu mengatasi ketakutan dan kecemasan yang mendasari.

Basi pasien dipareunia seperti Maria, diperlukan pendekatan yang lebih spesifik sesuai dengan penyebabnya. Infeksi dapat diobati dengan antibiotik atau antijamur, sementara kondisi seperti endometriosis mungkin memerlukan penanganan medis lebih lanjut. Penggunaan pelumas selama hubungan seksual dapat mengurangi gesekan dan ketidaknyamanan, dan konseling dapat membantu mengatasi masalah emosional yang mungkin berkontribusi pada rasa sakit.

Bercinta pertama kali yang penuh rasa sakit itu berubah menjadi malam-malam refleksi dan pemulihan. Bagi banyak perempuan, memahami bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengatakan “tidak” dan menetapkan batasan adalah langkah pertama menuju penyembuhan. Ingat, you always have the power to say no.

Di sinilah peran laki-laki sebagai pasangan menjadi sangat penting. Dalam hubungan yang penuh cinta dan penghargaan, laki-laki harus memahami dan menghormati batasan pasangan mereka. Foreplay menjadi kunci penting, tidak hanya sebagai pemanasan fisik, tetapi juga sebagai bentuk komunikasi dan kepedulian. Foreplay membantu perempuan merasa dihargai dan diinginkan, membangun kepercayaan, dan memberikan waktu bagi tubuh untuk rileks dan siap menerima penetrasi.

Foreplay yang dilakukan dengan lembut dan penuh kasih sayang dapat mengurangi kecemasan dan ketakutan yang sering kali menjadi pemicu vaginismus. Ketika laki-laki memberikan waktu dan perhatian ekstra, mereka membantu pasangan mereka merasa lebih aman dan nyaman, memungkinkan tubuh untuk merespons dengan rileks. Ini bukan hanya tentang menciptakan kenikmatan fisik, tetapi juga tentang membangun koneksi emosional yang mendalam.

Pengalaman pertama dalam berhubungan seks seharusnya menjadi momen yang menyenangkan dan berharga. Namun, jika mengalami rasa sakit atau ketidaknyamanan, penting untuk tidak merasa malu atau bersalah. Dengan pemahaman yang tepat dan bantuan profesional, vaginismus dan dispareunia dapat diatasi, memungkinkan hubungan seksual yang sehat dan memuaskan.

Kisah di atas adalah pengingat bahwa setiap perempuan memiliki hak untuk menikmati kehidupan seksual yang bebas dari rasa sakit. Dengan cinta, dukungan, dan bantuan yang tepat, mereka menemukan jalan menuju kebahagiaan dan keintiman yang sejati. Dan dalam setiap langkah perjalanan itu, perempuan harus selalu ingat semua bahwa kekuatan sejati terletak dalam keberanian untuk mencari bantuan dan menjaga diri sendiri.

Happiness starts from within. Be happy, be healthy, be sexy.

Ikuti diskusi menarik bersama ahli: Pejuang Vaginismus

Referensi

  1. Tayyeb M, Gupta V. Dyspareunia [Internet]. StatPearls – NCBI Bookshelf. 2023. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562159/.
  2. Pithavadian R, Chalmers J, Dune T. The experiences of women seeking help for vaginismus and its impact on their sense of self: An integrative review. Women’s Health [Internet]. 2023;19. doi: 10.1177/17455057231199383.
  3. McEvoy M, McElvaney R, Glover R. Understanding vaginismus: a biopsychosocial perspective. Sexual and Relationship Therapy [Internet]. 2021;1–22. doi: 10.1080/14681994.2021.2007233.
  4. Ramanathan V, Gautham K, Ramasubramaniam UM. Common Pitfalls in the Management of Vaginismus in Couples With Subfertility in India. Journal of Psychosexual Health [Internet]. 2022;4:133–137. doi: 10.1177/26318318221089600.

Artikel Terkait

Webinar Vaginismus “Bukan Aku Tidak Mau, Tapi Aku Tidak Bisa”

Previous
Next

Buat janji dokter sekarang

Hubungi Kami

Silahkan gunakan formulir ini kapan saja untuk menghubungi kami dengan pertanyaan, atau untuk membuat janji.

Anda juga dapat menghubungi kami melalui WhatsApp atau telepon pada jam klinik di +62 8111 368 364.