Berdasarkan Global TB Report 2022, Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia setelah India. Ini artinya kasus TBC di Indonesia cukup banyak.
Dulu TBC identik dengan kemiskinan, lingkungan kumuh dan kurang gizi. Namun sekarang TBC bisa ditemui di kota besar, pada orang sosial ekonomi tinggi. Hal ini karena ada faktor lain yang menyebabkan TB lebih mudah menginfeksi tubuh seseorang, misalnya diabetes melitus yang tidak terkontrol dan infeksi HIV.
Pada kasus HIV bisa seseorang tersebut mendapatkan infeksi TBC dahulu baru terinfeksi HIV. Bisa juga terinfeksi HIV dahulu baru terinfeksi TBC. Oleh karena itu ketika seseorang mendapatkan diagnosis HIV, dokter akan meminta orang tersebut untuk periksa penyakit tuberculosis (TBC) juga.
Demikian juga bila ada pasien TBC maka akan diminta untuk periksa HIV juga. Kenapa demikian?
TBC adalah salah infeksi oportunistik yang terkait dengan HIV. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa orang dengan HIV memiliki peluang 18 kali lipat lebih mudah mengalami TBC aktif dibandingkan orang dengan HIV negatif.
TBC menjadi penyebab kematian utama pada orang dengan HIV.
Adanya infeksi HIV pada pasien TBC mempercepat penurunan fungsi kekebalan tubuh, membuat infeksi TBC lebih buruk. Infeksi TBC dapat menurunkan kekebalan tubuh seseorang. Hal ini tentu memberi dampak negatif pada ODHIV yang kekebalan tubuhnya sudah turun, akan makin turun sehingga lebih cepat masuk ke dalam HIV stadium lanjut.
Infeksi HIV pada pasien TBC juga demikian karena infeksi TBC pada ODHIV sulit diagnosis secara cepat karena gambaran klinis yang tidak spesifik (tanpa batuk) dan hasil tes bakteri TBC di dahak (baik dengan tes mencari kuman BTA atau dengan tes molekuler cepat/TCM) negatif serta tidak ada kelainan struktur paru yang khas saat di rontgen, terutama bila kekebalan tubuhnya sangat menurun.
Baca juga: Kenali Tuberkulosis (TBC), Selamatkan Diri dan Bangsa
Gejala TBC umumnya batuk berdahak, demam, keringat malam karena kuman TBC aktif pada malam hari, penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan. TBC di luar paru-paru akan memberikan gejala sesuai dengan organ tubuh yang diserang. Misalnya TBC kelenjar akan memberikan gejala bisul pada kelenjar getah bening.
TBC juga dapat menyerang organ vital lain seperti otak, hati atau ginjal, sehingga menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih buruk. Kabar baiknya adalah ketika pasien sudah menjalani pengobatan HIV dan jumlah virusnya terkendali, kemungkinan untuk terkena kasus TBC yang paling parah akan berkurang secara drastis.
Jika cepat didiagnosis, penggunaan obat antituberkulosis (OAT) yang tepat waktu setelah didiagnosis TB dapat menurunkan kematian pada pasien koinfeksi TBC-HIV. Selain itu bila ODHIV yang melakukan pemeriksaan TB dan hasilnya negatif, dapat mengakses obat yang dapat mencegah infeksi TB laten agar tidak aktif. Pengobatan ini disebut dengan TPT (Terapi Pencegahan TBC). TPT diberikan pada semua kasus TBC laten.
Kenapa bila hasil pemeriksaan TBC negatif, kok masih perlu minum obat pencegahan TBC (TPT)?
Sebab tidak semua orang yang kemasukan kuman TBC akan menjadi infeksi TBC aktif. Ada Sebagian besar menjadi TBC laten. Pada TBC laten, kuman TBC ada di dalam tubuh namun tidak memberikan gejala sakit TBC karena kumannya tidak aktif.
TBC laten tidak menularkan karena kumannya tidak menyebar keluar tubuh. Diperkirakan 23% penduduk dunia terinfeksi TBC, dan sekitar 5%-10% merupakan kasus TBC laten menjadi TBC aktif.
Pemberian TPT adalah untuk mencegah TBC laten menjadi aktif. Pemberian 3-9 bulan TPT dapat melindungi 3-5 tahun dari infeksi TBC aktif. Pemberian TPT pada ODHIV akan menurunkan risiko mendapatkan TBC aktif di kemudian hari.
Obat TPT perlu pengawasan dokter karena ada interaksi dengan obat lain seperti ARV dan juga memiliki efek samping yang mungkin perlu perhatian khusus. Selain itu pemberian TPT akan disesuaikan dengan kondisi tubuh seseorang, misalnya kehamilan, gangguan fungsi hati, atau alergi.
Pada ODHIV dengan infeksi TBC harus diobati keduanya.
Bila sudah memulai ARV, baru terdiagnosis TBC, ARV tidak boleh berhenti. Pengobatan TBC dan HIV berjalan bersamaan. Bila ada kemungkinan interaksi pengobatan, maka ARV yang digunakan mungkin akan diganti atau disesuaikan dosisnya.
Bila TBC lebih dulu didiagnosis, pemberian ARV disesuaikan dengan kondisi pasien. Tidak boleh terlalu cepat agar interaksi obat tidak mengganggu kondisi pasien. Umumnya ARV diberikan 2 minggu setelah memulai pengobatan TBC, berapapun hasil pemeriksaan CD4.
Jadi pada kasus TBC-HIV pemeriksaan CD4 tidak diperlukan. Pada kasus meningitis TBC (TBC yang menginfeksi selaput pembungkus otak), pemberian ART dapat ditunda minimal setelah 4 minggu setelah pengobatan TBC.
Sedangkan kasus TBC RO (Resisten obat atau kebal pengobatan), ARV diberikan dalam 8 minggu pertama setelah memulai pengobatan OAT. Ini karena TBC RO lebih rumit penatalaksanaannya. Tidak perlu menunggu menyelesaikan pengobatan TBC dahulu untuk memulai ARV.
Baca juga: Terapi Pencegahan Tuberkulosis
Pengobatan TBC memang sulit dan rumit sehingga memerlukan pengawasan ketat. Tidak boleh ada yang terabaikan, baik TBC maupun HIV, semuanya memerlukan tata laksana yang serius untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Ada kondisi Ketika ODHIV sudah memulai pengobatan dan kekebalan tubuh mulai membaik, namun muncul gejala infeksi oportunistik yang lebih buruk. Ini disebut dengan IRIS (immune reconstitution inflammatory syndrome) atau sindrom pulih imun.
IRIS juga terjadi pada TBC. Ada 2 tipe IRIS-TBC. Pertama paradoks IRIS. Gejala TBC yang sudah diobati, memburuk. Kedua unmasking IRIS. Pada keadaan ini TBC yang gejalanya tidak jelas atau tidak bergejala, jadi muncul gejalanya. Pada kedua keadaan ini, ARV tidak boleh dihentikan. Pengobatan TBC memerlukan perhatian khusus.
TB-IRIS dilaporkan terjadi pada 8% hingga lebih dari 40% pasien yang mulai ARV setelah TBC didiagnosis, meskipun kejadiannya bergantung pada tipe IRIS dan pengawasan pengobatan. Dengan penanganan yang baik, sindrom ini jarang menyebabkan kematian.
IRIS biasanya terjadi pada ODHIV dengan jumlah CD4 awal <50 sel/mm3, viral load HIV sebelum ARV yang tinggi, tingkat keparahan penyakit TBC, dan jarak pemberian ARV dengan pemberian obat TBC Â <30 hari.
Kebanyakan IRIS pada penyakit TBC-HIV terjadi ≤3 bulan sejak dimulainya ARV. Ini bisa membedakan antara IRIS dan infeksi oportunistik yang muncul karena kebal pengobatan.
Kombinasi infeksi TBC dan HIV memang menjadi masalah serius. Namun bila dideteksi dan diobati dengan cepat dapat memberikan hasil yang cukup baik. Itu sebabnya pemeriksaan rutin pada ODHIV penting dilakukan karena akan mengurangi risiko mendapatkan infeksi yang serius seperti TBC.